Nama :Mutoharoh
Nim :13040564056
Prodi :S1 Sosiologi
PENDIDIKAN
KAUM TERTINDAS
Kebebasan
merupakan hak setiap manusia. Tetapi apa jadinya jika kebebasan tersebut
terhambat dengan adanya struktur yang bisa mengendalikan semua kegiatan di
dalamnya. Hal ini disebut dengan adanya kaum penindas dan kaum tertindas. Kaum
penindas merupakan kegiatan oleh aktor-aktor yang mempunyai kekuasaan,
sedangkan kaum tertindas adalah kaum yang memang kurang dalam pengetahuan,
kekayaan yang dimiliki. Sehingga dengan leluasa kaum penindas melakukan
penindasan untuk kepentingan individu melalui struktur yang ada. Kaum tertindas
secara tidak sadar mereka ditindas oleh kekuasaan yang membatasi kebebasan
mereka. Dalam pendidikan pun juga terjadinya proses penindasan di dalamnya.
Proses pendidikan termasuk pada
kegiatan penindasan dengan menggunakan konsep “sistem bank”. Dalam pendidikan
guru sebagai subjek yang memiliki pengetahuan. Murid adalah wadah atau suatu
tempat deposit belaka. Dalam proses belajar itu murid semata-mata sebagai
objek. Sangat jelas dalam sistem tersebut tidak terjadi komunikasi yang
sebenarnya antara guru dan murid. Praktik pendidikan semacam itu mencerminkan
penindasan yang terjadi di masyarakat sekaligus memperkuat struktur-struktur
yang menindas. Pendidikan menjadi alat dominasi yang dimanfaatkan untuk
penjinakan.
Praktik pendidikan tersebut terjadi
pada saya, mulai dari penidikan yang saya tempuh dari TK sampai SMA, dalam
proses pembelajaran yang lebih ditekankan pada guru yang memberikan materi saja,
tanpa menyuruh muridnya mencari refrensi lain. Bahkan, guru biasanya
membicarakan realitas seolah-olah statis, tidak menguraikan topik-topik yang sesuai
dengan murid dan lebih berpatokan pada 1 refrensi saja. Dalam memberikan
pelajaran pun mereka banyak menekankan pada muridnya untuk mencatat, menghafal
dan mengulangi ungkapan-ungkapan yang diberikan oleh guru, tanpa memahami arti
dari kata tersebut. Biasanya murid-murid selalu patuh dengan apa yang di
katakan guru, dan dalam bertanyapun mereka jarang sekali. Karena adanya
stereotip bahwa untuk murid yang selalu bertanya dianggap tidak pintar karena
selalu bertanya. Dari situlah untuk bertanyapun takut dan akan mempengaruhi
nilai. Tetapi ada juga guru yang mengajarkan untuk selalu bertanya karena nanti
ada tambahan nilai pada partisipasi. Hanya sedikit guru yang menerapkan sistem
seperti itu. Tetapi kebanyakan mereka menggunakan yang stereotip bahwa banyak tanya
kelihatan tidak pintarnya “bodoh”.
Memperoleh informasi mengenai mata pelajaran
atau refrensipun kurang. Guru hanya mewajibkan muridnya untuk mempunyai 1 buku
pelajaran saja. Tanpa disuruh mencari refrensi lain, budaya tersebut sudah
terjadi sejak saya SD sampai SMA. Untuk belajar hanya berpatoka pada 1 buku
tersebut. Persediaan buku pun terbatas diperpustakaan hanya buku mata pelajaran
saja yang ada di perpustakaan. Guru menyuruh menghafalkan tanpa didasari
pemahaman dalam kalimat tersebut. Pemikiran yang statis juga budaya yang saya
peroleh dari proses pendidikan tersebut. Tanpa bisa keluar dengan menggunakan
parafrase dalam kalimat tersebut. Untuk pelajaran yang disampaikan kebanyakan
dengan metode ceramah atau bercerita, untuk berdiskusipun jarang digunakan,
hanya mata pelajaran tertentu yang menggunakan metode berdiskusi.
Sehingga
ibaratkan murid sebagai “bejana-bejana” atau wadah-wadah kosong yang diisi oleh
guru. Semakin penuh dia mengisi wadah-wadah itu, semakin baik pula seorang
guru. Semakin penuh wadah-wadah itu untuk diisi semakin baik pula mereka
sebagai murid. Konsep pendidikan “gaya bank” pengetahuan merupakan sebuah
anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap diri berpengetahuan kepada
mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apapun. Para yang bagaikan
budak terasinng dalam dialektika Hegel, menerima kebodohan mereka sebagai
pengesahan keberadaan sang guru tetapi, tidak seperti budak, mereka tidak
pernah menyadari bahwa mereka mendidik gurunya.
Budaya
semacam itu sudah mulai luntur pada saya saat menempuh pendidikan di Perguruan
Tinggi. Meskipun awalnya masuk dibangku kuliah saya sangat canggung dengan
banyak refrensi yang ditawarkan oleh para dosen, tetapi pola berfikir saya
mulai sadar bahwa membaca adalah salah satu pengetahuan yang berharga sekali
dan menambah pengetahuan saya. Pada semester 2 kecintaan saya dengan buku
semakin meningkat, buku yang sekiranya menarik dibaca saya beli atau foto copy
dengan menyisihkan uang jajan dari orang tua. Selain itu diskusi juga saya
ikuti dengan teman-teman maupun ikut dalam acara seminar-seminar yang diadakan
oleh UNESA maupun dapat undangan dari Universitas lain, karena pentingnya
jaringan sosial dalam membangun pengetahuan yang lebih luas.
Pembelajaran
yang ada di perguruan tinggi pun berbeda sekali dengan pembelajaran yang
dilakukan di SD sampai SMA. Dibangku kuliah lebih menekankan pada proses
pembelajaran dialog, dosen lebih suka berdiskusi dengan mahasiswanya. Dan untuk
bertanyapun dipersilahkan meskipun ada yang dimasukkan nilai pertisipasi maupun
tidak. Tetapi di sini pembelajarannya lebih kepada sharing atau pengetahuan mahasiswa juga bisa di diskusikan di mata
kuliah tersebut apakah sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh dosen atau
mahasiswa mempunyai refrensi yang lain. Di sini dosen dan mahasiswa saling
bertukar pengetahuan di dalam kelas dengan metode diskusi.
Sebenarnya
dalam dialog menuntut adanya keyakinan yang mendalam terhadap diri manusia,
keyakinan pada kemampuan manusia untuk membuat dan membuat kembali, untuk
mencipta dan mencipta kembali, keyakinan pada fitrahnya untuk menjadi manusia
seutuhnya (yang bukan hak istimewa sekelompok elite, tetapi hak kelahiran semua
manusia). Dialoglah yang menuntut adanya pemikiran kritis, yang mempu
melahirkan pemikiran kritis. Tanpa dialog tidak akan ada komunikasi, dan tanpa
komunikasi tidak akan mungkin ada pendidikan sejati. Jadi keduanya yaitu murid
dan guru saling belajar satu sama lain, saling memanusiakan. Dalam proses ini,
hubungan keduanya menjadi subjek-subjek, bukan subjek-objek. Objek mereka
adalah realita. Maka terciptalah suasana dialogis yang bersifat inter subjektif
untuk memahami suatu objek bersama. Ini sesuai dengan teori Humanisme sejati
yang dikemukakan Pierre Furter yaitu “terdapat sikap yang membiarkan tumbuhnya
kesadaran kemanusiaan kita yang utuh, sebagai suatu keadaan dan suatu
kewajiban, sebagai suatu situasi dan sebuah proyek.”
Antidialogika
merupakan penggambaran pendidikan gaya bank. Yang mana kaum elit berkuasa yang
digambarkan oleh guru sebagai subjek. Sedangkan untuk muridnya digunakan
sebagai objek atau keadaan yang dipertahankan dan mayoritas kaum tertindas
sebagai realitas. Sehingga dehumanisasi berlangsung situasi penindasan (sebagai
tujuan). Mengenai teori-teori tindakan yang antidialogis dan analogis dapat
dianalisis yaitu Penakluk, Pecah Kuasa, Manipulasi, Serangan Budaya, Kerja Sama,
Persatuan untuk Pembebasan, Organisasi, Sintesa Kebudayaan.
Pertama,
Penakluk yaitu dalam manusia antidialogis dalam berhubungan dengan manusia
lain, bertujuan untuk menaklukkan mereka sedikit demi sedikit dan dengan segala
cara, dari paling kasar sampai paling halus, dari paling menekan sampai paling
tidak terasa (peternalisme). Setiap tindak penakluk melibatkan seorang penakluk
dan seorang atau sesuatu yang ditaklukkan. Ini juga bisa terjadi pada
pendidikan gaya bank, yang mana siswanya ditaklukkan oleh gurunya yang
seakan-akan memberikan materi dan siswa hanya mendengar saja. Baik secara halus
pendidikan yang di utaran guru akan menaklukkan siswanya. Mereka hanya disuruh
untuk duduk dan mendengarkan apa yang disampaikan oleh gurunya. Siswa yang
tunduk dan ditaklukkan oleh sistem kurikulum maupun peraturan yang ada di
sekolah dan terutama oleh gurunya.
Kedua,
Pecah dan Kuasai cara ini merupakan dimensi penting dari teori tindakan
menindas yang seumur dengan penindasan itu sendiri. Setelah minoritas penindasan
menaklukkan dan menguasai mayoritas, merka harus memecah belah dan menjaga agar
tetap pecah, supaya dapat terus berkuasa. Untuk melemahkan kaum tertindas lebih
lanjut, dengan mengucilkan mereka, menciptakan dan memperdalam jurang pemisah
diantara mereka, adalah kepentingan kaum penindas. Dalam dunia pendidikan yang
ada disekolahpun juga terjadi. Guru yang suka membeda-bedakan antara siswa yang
pinter dan yang tidak pinter. Sedangkan untuk di dunia siswa sendiri mereka
yang dianggap pintar lebih mendominasi dalam pertemanan maupun dalam hal
pelajaran, sedangkan untuk siswa yang tidak pintar biasanya dikucilkan dan
jarang mempunyai teman. Disini kepandaian menjadi kunci penindasan dalam siswa
di mata guru.
Ketiga,
Manipulasi adalah dimensi lain dari teori tindakan antidialogis. Dengan cara
manipulasi, elit penguasa berusaha membuat rakyat menyesuaikan diri dengan
tujuan-tujuan mereka. Semakin rendah kesadaran politik rakyat semakin mudah
pula mereka dimanipulasi oleh mereka yang tidak ingin kehilangan kekuasaannya. Sistem
pendidikan disekolah dalam hal ini juga terjadi pada siswa dan guru. Guru
sebagai elit penguasa sedangkan siswanya sebagai rakyat yang akan dimanipulasi
dalam hal pengetahuan. Setiap siswa mempunyai kecerdasan yang berbeda-beda,
mereka yang tidak cukup pengetahuan akan termanipulasi oleh guru yang
seolah-olah dalam menyampaikan materi pelajaran dengan benar. Karena guru juga
tidak selalu benar. Dengan demikian posisi siswa yang dia tahu atau tidaknya
dimanipulasi oleh penyampaian materi maupun dalam materi yang disampaikan.
Keempat,
Kerja sama, dalam teori tindakan antidialogis, penakluk melibatkan semua pelaku
yang menaklukkan orang lain, dan mengubahnya menjadi suatu “benda”. Sedangkan
teori tindakan dialogis, para pelaku berkumpul dalam kerja sama untuk mengubah
dunia. Kerja sama sebagai suatu ciri dari tindakan dialogis yang berkembang
hanya diantara pelaku-pelaku hanya dapat tercapai melalui komunikasi. Di dalam
kegiatan perkuliahan yang mengutamakan kerja sama untuk menciptakan suasana
pembelajaran yang lebih santai. Dengan dialog yang berkaitan dengan materi.
Kelima,
Persatuan untuk pembebasan, dalam teori tindakan antidialogis kaum penindasa
terpaksa harus memecah belah kaum tertindas, agar lebih mudah mempertahankan penindasan,
maka dalam teori dialogis para pemimpin harus menyerahkan diri usaha tanpa
kenal lelah bagi persatuan kaum tertindas dan persatuan para pemimpin dengan
kaum tertindas untuk mencapai kebebasan. Untuk menciptakan persatuan diantara
mereka memerlukan bentuk aksi kebudayaan yang akan membuat mereka mengetahui
mengapa dan bagaimana mereka melekat pada realitas. Di sini pada proses
pembelajaran yang ada di kampus sudah menggunakan dialogis, mahasiswa saling
melakukan diskusi dan membudayakan membaca. Tidak sedikit dosen yang memberikan
referensi untuk di baca dan di diskusikan. Dengan budaya tersebut bisa
membebaskan kaum tertindas untuk bebas berfikir.
Keenam,
Organisasi, dalam teori tindakan antidialogis, manipulasi tidak dapat
dielakan bagi usaha menaklukkan dan menguasai dalam teori tindakan dialogis
organisasi rakyat merupaan lawan antagonistik dari manipulasi ini. Sedangkan
pada teori dialog organisasi sebaliknya adalah suatu proses yang sangat
mendidik di mana para pemimpin dan rakyat bersama-sama mengalami otoritas dan
kebebasan sejati, yang kemudian mereka usahakan penjelmaannya di dalam
masyarakat dengan mengubah realitas yang mengntarai mereka. Dalam dunia
pendidikan baik di SMP, SMA, Perguruan Tinggi adanya organisasi di dalamnya
untuk menentukan program-program yang akan dilaksanakan. Di dalam organisasi
mereka bebas untuk mengeluarkan pendapat dan bertukar pikiran menngenai
realitas maupun dalam pelaksanaan proker yang akan dilaksanakan.
Ketujuh,
Sintesa Kebudayaan, Aksi kebudayaan senantiasa merupakan suatu bentuk
tindakan yang sistematis dan terencana yang ditujukan pada struktur sosial,
baik dengan tujuan melestarikan ataupun mengubahnya. Sintesa kebudayaan (justru
karena dia adalah sintesa) tidak
lantas berarti objektif dari tindakan revolusioner yang seharusnya terbatas
atau dibatasi oleh aspirasi yang dituangkan dalam pandangan dunia rakyat. Dalam
teori tindakan antidialogis, serangan kebudayaan melalui tujuan-tujuan
manipulasi, yang pada gilirannya melayani tujuan-tiujuan dominasi, organisasi melayani
tujuan-tujuan pembebasan.
Pendidikan tertindas ya
BalasHapus