Kamis, 10 November 2016

Refreksi diri dan Teori kritis Paulo Freire

Nama  :Mutoharoh
Nim     :13040564056
Prodi   :S1 Sosiologi

                                               
PENDIDIKAN KAUM TERTINDAS

            Kebebasan merupakan hak setiap manusia. Tetapi apa jadinya jika kebebasan tersebut terhambat dengan adanya struktur yang bisa mengendalikan semua kegiatan di dalamnya. Hal ini disebut dengan adanya kaum penindas dan kaum tertindas. Kaum penindas merupakan kegiatan oleh aktor-aktor yang mempunyai kekuasaan, sedangkan kaum tertindas adalah kaum yang memang kurang dalam pengetahuan, kekayaan yang dimiliki. Sehingga dengan leluasa kaum penindas melakukan penindasan untuk kepentingan individu melalui struktur yang ada. Kaum tertindas secara tidak sadar mereka ditindas oleh kekuasaan yang membatasi kebebasan mereka. Dalam pendidikan pun juga terjadinya proses penindasan di dalamnya.
            Proses pendidikan termasuk pada kegiatan penindasan dengan menggunakan konsep “sistem bank”. Dalam pendidikan guru sebagai subjek yang memiliki pengetahuan. Murid adalah wadah atau suatu tempat deposit belaka. Dalam proses belajar itu murid semata-mata sebagai objek. Sangat jelas dalam sistem tersebut tidak terjadi komunikasi yang sebenarnya antara guru dan murid. Praktik pendidikan semacam itu mencerminkan penindasan yang terjadi di masyarakat sekaligus memperkuat struktur-struktur yang menindas. Pendidikan menjadi alat dominasi yang dimanfaatkan untuk penjinakan.
            Praktik pendidikan tersebut terjadi pada saya, mulai dari penidikan yang saya tempuh dari TK sampai SMA, dalam proses pembelajaran yang lebih ditekankan pada guru yang memberikan materi saja, tanpa menyuruh muridnya mencari refrensi lain. Bahkan, guru biasanya membicarakan realitas seolah-olah statis, tidak menguraikan topik-topik yang sesuai dengan murid dan lebih berpatokan pada 1 refrensi saja. Dalam memberikan pelajaran pun mereka banyak menekankan pada muridnya untuk mencatat, menghafal dan mengulangi ungkapan-ungkapan yang diberikan oleh guru, tanpa memahami arti dari kata tersebut. Biasanya murid-murid selalu patuh dengan apa yang di katakan guru, dan dalam bertanyapun mereka jarang sekali. Karena adanya stereotip bahwa untuk murid yang selalu bertanya dianggap tidak pintar karena selalu bertanya. Dari situlah untuk bertanyapun takut dan akan mempengaruhi nilai. Tetapi ada juga guru yang mengajarkan untuk selalu bertanya karena nanti ada tambahan nilai pada partisipasi. Hanya sedikit guru yang menerapkan sistem seperti itu. Tetapi kebanyakan mereka menggunakan yang stereotip bahwa banyak tanya kelihatan tidak pintarnya “bodoh”.
            Memperoleh informasi mengenai mata pelajaran atau refrensipun kurang. Guru hanya mewajibkan muridnya untuk mempunyai 1 buku pelajaran saja. Tanpa disuruh mencari refrensi lain, budaya tersebut sudah terjadi sejak saya SD sampai SMA. Untuk belajar hanya berpatoka pada 1 buku tersebut. Persediaan buku pun terbatas diperpustakaan hanya buku mata pelajaran saja yang ada di perpustakaan. Guru menyuruh menghafalkan tanpa didasari pemahaman dalam kalimat tersebut. Pemikiran yang statis juga budaya yang saya peroleh dari proses pendidikan tersebut. Tanpa bisa keluar dengan menggunakan parafrase dalam kalimat tersebut. Untuk pelajaran yang disampaikan kebanyakan dengan metode ceramah atau bercerita, untuk berdiskusipun jarang digunakan, hanya mata pelajaran tertentu yang menggunakan metode berdiskusi.
Sehingga ibaratkan murid sebagai “bejana-bejana” atau wadah-wadah kosong yang diisi oleh guru. Semakin penuh dia mengisi wadah-wadah itu, semakin baik pula seorang guru. Semakin penuh wadah-wadah itu untuk diisi semakin baik pula mereka sebagai murid. Konsep pendidikan “gaya bank” pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap diri berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apapun. Para yang bagaikan budak terasinng dalam dialektika Hegel, menerima kebodohan mereka sebagai pengesahan keberadaan sang guru tetapi, tidak seperti budak, mereka tidak pernah menyadari bahwa mereka mendidik gurunya.
Budaya semacam itu sudah mulai luntur pada saya saat menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi. Meskipun awalnya masuk dibangku kuliah saya sangat canggung dengan banyak refrensi yang ditawarkan oleh para dosen, tetapi pola berfikir saya mulai sadar bahwa membaca adalah salah satu pengetahuan yang berharga sekali dan menambah pengetahuan saya. Pada semester 2 kecintaan saya dengan buku semakin meningkat, buku yang sekiranya menarik dibaca saya beli atau foto copy dengan menyisihkan uang jajan dari orang tua. Selain itu diskusi juga saya ikuti dengan teman-teman maupun ikut dalam acara seminar-seminar yang diadakan oleh UNESA maupun dapat undangan dari Universitas lain, karena pentingnya jaringan sosial dalam membangun pengetahuan yang lebih luas.
Pembelajaran yang ada di perguruan tinggi pun berbeda sekali dengan pembelajaran yang dilakukan di SD sampai SMA. Dibangku kuliah lebih menekankan pada proses pembelajaran dialog, dosen lebih suka berdiskusi dengan mahasiswanya. Dan untuk bertanyapun dipersilahkan meskipun ada yang dimasukkan nilai pertisipasi maupun tidak. Tetapi di sini pembelajarannya lebih kepada sharing atau pengetahuan mahasiswa juga bisa di diskusikan di mata kuliah tersebut apakah sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh dosen atau mahasiswa mempunyai refrensi yang lain. Di sini dosen dan mahasiswa saling bertukar pengetahuan di dalam kelas dengan metode diskusi.
Sebenarnya dalam dialog menuntut adanya keyakinan yang mendalam terhadap diri manusia, keyakinan pada kemampuan manusia untuk membuat dan membuat kembali, untuk mencipta dan mencipta kembali, keyakinan pada fitrahnya untuk menjadi manusia seutuhnya (yang bukan hak istimewa sekelompok elite, tetapi hak kelahiran semua manusia). Dialoglah yang menuntut adanya pemikiran kritis, yang mempu melahirkan pemikiran kritis. Tanpa dialog tidak akan ada komunikasi, dan tanpa komunikasi tidak akan mungkin ada pendidikan sejati. Jadi keduanya yaitu murid dan guru saling belajar satu sama lain, saling memanusiakan. Dalam proses ini, hubungan keduanya menjadi subjek-subjek, bukan subjek-objek. Objek mereka adalah realita. Maka terciptalah suasana dialogis yang bersifat inter subjektif untuk memahami suatu objek bersama. Ini sesuai dengan teori Humanisme sejati yang dikemukakan Pierre Furter yaitu “terdapat sikap yang membiarkan tumbuhnya kesadaran kemanusiaan kita yang utuh, sebagai suatu keadaan dan suatu kewajiban, sebagai suatu situasi dan sebuah proyek.”
            Antidialogika merupakan penggambaran pendidikan gaya bank. Yang mana kaum elit berkuasa yang digambarkan oleh guru sebagai subjek. Sedangkan untuk muridnya digunakan sebagai objek atau keadaan yang dipertahankan dan mayoritas kaum tertindas sebagai realitas. Sehingga dehumanisasi berlangsung situasi penindasan (sebagai tujuan). Mengenai teori-teori tindakan yang antidialogis dan analogis dapat dianalisis yaitu Penakluk, Pecah Kuasa, Manipulasi, Serangan Budaya, Kerja Sama, Persatuan untuk Pembebasan, Organisasi, Sintesa Kebudayaan.
            Pertama, Penakluk yaitu dalam manusia antidialogis dalam berhubungan dengan manusia lain, bertujuan untuk menaklukkan mereka sedikit demi sedikit dan dengan segala cara, dari paling kasar sampai paling halus, dari paling menekan sampai paling tidak terasa (peternalisme). Setiap tindak penakluk melibatkan seorang penakluk dan seorang atau sesuatu yang ditaklukkan. Ini juga bisa terjadi pada pendidikan gaya bank, yang mana siswanya ditaklukkan oleh gurunya yang seakan-akan memberikan materi dan siswa hanya mendengar saja. Baik secara halus pendidikan yang di utaran guru akan menaklukkan siswanya. Mereka hanya disuruh untuk duduk dan mendengarkan apa yang disampaikan oleh gurunya. Siswa yang tunduk dan ditaklukkan oleh sistem kurikulum maupun peraturan yang ada di sekolah dan terutama oleh gurunya.
            Kedua, Pecah dan Kuasai cara ini merupakan dimensi penting dari teori tindakan menindas yang seumur dengan penindasan itu sendiri. Setelah minoritas penindasan menaklukkan dan menguasai mayoritas, merka harus memecah belah dan menjaga agar tetap pecah, supaya dapat terus berkuasa. Untuk melemahkan kaum tertindas lebih lanjut, dengan mengucilkan mereka, menciptakan dan memperdalam jurang pemisah diantara mereka, adalah kepentingan kaum penindas. Dalam dunia pendidikan yang ada disekolahpun juga terjadi. Guru yang suka membeda-bedakan antara siswa yang pinter dan yang tidak pinter. Sedangkan untuk di dunia siswa sendiri mereka yang dianggap pintar lebih mendominasi dalam pertemanan maupun dalam hal pelajaran, sedangkan untuk siswa yang tidak pintar biasanya dikucilkan dan jarang mempunyai teman. Disini kepandaian menjadi kunci penindasan dalam siswa di mata guru.
            Ketiga, Manipulasi adalah dimensi lain dari teori tindakan antidialogis. Dengan cara manipulasi, elit penguasa berusaha membuat rakyat menyesuaikan diri dengan tujuan-tujuan mereka. Semakin rendah kesadaran politik rakyat semakin mudah pula mereka dimanipulasi oleh mereka yang tidak ingin kehilangan kekuasaannya. Sistem pendidikan disekolah dalam hal ini juga terjadi pada siswa dan guru. Guru sebagai elit penguasa sedangkan siswanya sebagai rakyat yang akan dimanipulasi dalam hal pengetahuan. Setiap siswa mempunyai kecerdasan yang berbeda-beda, mereka yang tidak cukup pengetahuan akan termanipulasi oleh guru yang seolah-olah dalam menyampaikan materi pelajaran dengan benar. Karena guru juga tidak selalu benar. Dengan demikian posisi siswa yang dia tahu atau tidaknya dimanipulasi oleh penyampaian materi maupun dalam materi yang disampaikan.
            Keempat, Kerja sama, dalam teori tindakan antidialogis, penakluk melibatkan semua pelaku yang menaklukkan orang lain, dan mengubahnya menjadi suatu “benda”. Sedangkan teori tindakan dialogis, para pelaku berkumpul dalam kerja sama untuk mengubah dunia. Kerja sama sebagai suatu ciri dari tindakan dialogis yang berkembang hanya diantara pelaku-pelaku hanya dapat tercapai melalui komunikasi. Di dalam kegiatan perkuliahan yang mengutamakan kerja sama untuk menciptakan suasana pembelajaran yang lebih santai. Dengan dialog yang berkaitan dengan materi.
            Kelima, Persatuan untuk pembebasan, dalam teori tindakan antidialogis kaum penindasa terpaksa harus memecah belah kaum tertindas, agar lebih mudah mempertahankan penindasan, maka dalam teori dialogis para pemimpin harus menyerahkan diri usaha tanpa kenal lelah bagi persatuan kaum tertindas dan persatuan para pemimpin dengan kaum tertindas untuk mencapai kebebasan. Untuk menciptakan persatuan diantara mereka memerlukan bentuk aksi kebudayaan yang akan membuat mereka mengetahui mengapa dan bagaimana mereka melekat pada realitas. Di sini pada proses pembelajaran yang ada di kampus sudah menggunakan dialogis, mahasiswa saling melakukan diskusi dan membudayakan membaca. Tidak sedikit dosen yang memberikan referensi untuk di baca dan di diskusikan. Dengan budaya tersebut bisa membebaskan kaum tertindas untuk bebas berfikir.
            Keenam, Organisasi, dalam teori tindakan antidialogis, manipulasi tidak dapat dielakan bagi usaha menaklukkan dan menguasai dalam teori tindakan dialogis organisasi rakyat merupaan lawan antagonistik dari manipulasi ini. Sedangkan pada teori dialog organisasi sebaliknya adalah suatu proses yang sangat mendidik di mana para pemimpin dan rakyat bersama-sama mengalami otoritas dan kebebasan sejati, yang kemudian mereka usahakan penjelmaannya di dalam masyarakat dengan mengubah realitas yang mengntarai mereka. Dalam dunia pendidikan baik di SMP, SMA, Perguruan Tinggi adanya organisasi di dalamnya untuk menentukan program-program yang akan dilaksanakan. Di dalam organisasi mereka bebas untuk mengeluarkan pendapat dan bertukar pikiran menngenai realitas maupun dalam pelaksanaan proker yang akan dilaksanakan.
            Ketujuh, Sintesa Kebudayaan, Aksi kebudayaan senantiasa merupakan suatu bentuk tindakan yang sistematis dan terencana yang ditujukan pada struktur sosial, baik dengan tujuan melestarikan ataupun mengubahnya. Sintesa kebudayaan (justru karena dia adalah sintesa) tidak lantas berarti objektif dari tindakan revolusioner yang seharusnya terbatas atau dibatasi oleh aspirasi yang dituangkan dalam pandangan dunia rakyat. Dalam teori tindakan antidialogis, serangan kebudayaan melalui tujuan-tujuan manipulasi, yang pada gilirannya melayani tujuan-tiujuan dominasi, organisasi melayani tujuan-tujuan pembebasan.

1 komentar: