REVIEW
AGAMA
DAN PERUBAHAN SOSIAL
KELOMPOK
6:
DAVID PERMANA SIAHAAN (13040564050)
PANDU WRIEDA R.Y (13040564051)
SARI WINDI AZHARI (13040564053)
BILLAH NURLAILI Z (13040564055)
MUTOHAROH (
13040564056)
UNIVERSITAS
NEGERI SURABAYA
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN HUKUM
JURUSAN
PENDIDIKAN SEJARAH
PRODI
SOSIOLOGI
2015
AGAMA
DAN PERUBAHAN SOSIAL
Agama dalam literatur sosiologi
diperhitungkan sebagai salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan
sosial di Masyarakat. Teori-teori sosiologi yang dikembangkan oleh “trinitas”,
yakni Durkheim, Marx dan Weber mengkaji keterkaitan antara agama dan perubahan
sosial. Weber mengkaji tentang etika Protestan dapat dikatakan merupakan masterpiece pertama yang mengkaitkan
agama dengan perubahan sosial.
Dalam sosiologi struktral fungsional
seperti Parson, meskipun berasumsi bahwa perubahan sosial berjalan secara
gradual dan melihat agama sebagai fungsi integratif, secara implisit mengaitkan
peran agama dalam proses perubahan sosial. Simbol agama dalam pandangan Parson
berfungsi memobilitasi bagi perubahan sosial dalam hal perubahan struktur
masyarakat, seperti otoritas atau sistem kekerabatan dan keluarga. Simbol agama
pertama kali ialah mengintegrasikan individu yang mempunyai komitmen terhadap
keyakinan dan agamanya, kemudian melalui simbol agama juga itu juga terjadi
peluasan pengikut agama sehingga agama tidak hanya berfungsi integratif.
Agama sendiri secara inhern
sesungguhnya sudah mengandung unsur perubahan sosial sejak kelahirannya.
Agama-agama besar dunia mapuun berbagai aliran atau sekte selalu terhadap
keinginan atau semangat untuk melakukan perubahan sosial. Aspek kehidupan yang
ingin diubah umumnya ialah sisi moralitas dan perilaku sosial. Misalnya, islam
sejak kelahirannya mempunyai peran kuat untuk melakukan perubahan keyakinan,
nilai-nilai, dan moralitas masyarakat Arab sebelum Islam ditandai dengan
rendahnya penghargaan nilai-nilai kemanusiaan yang tercermin pada, misalnya
pembunuhan terhadap setiap anak perempuan yang lahir.
Agama secara teoritis dapat
mendorong perubahan sosial sekaligus dapat berfungsi sebaliknya, yakni menghambat
perubahan sosial. Hal ini disebabkan nilai-nilai agama menjadi pandangan hidup
yang membimbing perilaku manusia. Menurut Sherkat (2006:7-8), agama dapat bersifat
ekstensif dalam arti menarik banyak pihak terlepas ruang dan waktu, tetapi
dapat pula bersifat intensif yang memungkinkan kontrol terhadap pemahaman dan
perilaku. Agama merupakan elemen ideologis yang paling kuat di setiap
masyarakat. Orientasi agama membantu masyarakat mendefinifinisikan itu “baik”
dan “buruk” dan mengarahkan tindakan kolektif. Meskipun teoritis klasik
berasumsi bahwa orientasi akhirat menghindarkan aktivitas politik, penelitian
terkini menunjukkan bahwa kepercayaan, nilai, dan institsi agama merupakan
faktor krusial dalam mendukng taktik berkonflik.
Studi yang dilakukan Silberman et all.
(2010) menunjukkan bagaimana agama merupakan pedang bermata dua yang dapat
mendorong dan menghambat perubahan dan dapat memfasilitasi baik aktivisme damai
maupun aktivisme penuh kekerasan. Pada pendekatan sistem agama yang digunakan
dalam studi ini dapat terlihat dengan jelas kompleksitas hubungan antara agama
dan perubahan melalui penjelasan makna perubahan dan pencapaiannya, perbedaan
inheren antar kelompok agama, kompleksitas dan sistem makna gama, dan proses
yang dapat memfasilitasi baik status quo atau aktivisme damai atau penuh
kekerasan. Dari penjelasan diatas dapat di bedakan menjadi tiga yaitu Agama
sebagai ‘Enabler”, Agama sebagai “Constraint”, dan Agama dan Modernitas”.
A.
Agama
sebagai “Enabler”
Disini agama dianggap
sebagai faktor pendorong adanya perubahan sosial, khususnya pada proses
perkembangan modernitas.
Perhatian agama dan
modernitas disini meliputi 3 komponen yakni,
1.
Dampak agama terhadap norma ekonomi dan
perilaku.
2.
Kontribusi agama terhadap perkembangan
rezim politik, seperti demokrasi.
3.
Konsekuensi agama bagi perkembangan
budaya.
Weber, Kristianitas
sebagai suatu prakondisi kultural bagi perilaku ekonomi rasional. Turner, agama mendukung kapitalisme dan
etos demokrasi serta institusi sekuler yang mendasari hierarki otoritas
karismatik organisasi-organisasi gereja kristen.
1. Dampak agama terhadap norma ekonomi
dan perilaku.
Sikap
asketisme terhadap dunia (menghindarkan diri dari kemewahan dunia dan konsumsi
berlebihan) menghasilkan semangat kapitalisme. Hal ini terjadi karena dengan
sikap asketisme tersebut lalu dikaitkan
dengan etos kerja keras dan profesional maka akan menghasilkan surplus
ekonomi dalam jumlah besar kemudian diinvestasikan dalam usaha ekonomi lanjutan
sehingga terjadi multiplier effect secara ekonomis.
Merujuk pada teori yang dikemukakan oleh
weber mengenai etika protestan dan semangat kapitalisme, weber menjelaskan
bagaimana hubungan antara ide agama dan praktik etika aktivitas ekonomi.
Menurut weber kepercayaan agama dalam kondisi tertentu mempunyai pengaruh besar
terhadap pemikiran dan peilaku ekonomi.
Ex : Analisis Weber
pada kelompok Protestan
Jika didalam kelompok
tersebut terdapat sebuah kepercayaan
Calvinisme, dimana mereka mempercayai bahwa Tuhan telah menentukan siapa
yang akan masuk surga dan siapa yang telah masuk neraka, tergantung bagaimana
seseorang menjalani kehidupannya secara produktif atau tidak didunia. Jadi yang
mempunyai kesuksesan dalam karier maka ia akan masuk surga. Orientasi hidup
seperti ini mendorong Protestanisme menghasilkan kapitalisme industri.
Ada juga konsep
Calling, dimana mereka menganggap jika pekerjaan manusia itu sudah ditentukan
oleh Tuhan. Kerja dalam panggilan tersebut dianggap sebagai sebuah ekspresi
kecintaan seseorang pada dunia sekitarnya sehingga individu diharuskan bekerja
keras dan berkomitmen dengan pekerjaannya yang merupakan perintah dari Tuhan.
Kesuksesan dalam pekerjaan merupakan indikasi “keridhaan” Tuhan dan menunjukkan
jika ia akan masuk surga. Serta dengan memiliki banyak uang merupakan bukti
nyata individu dalam memenuhi panggilan Tuhannya.
2.
Kontribusi
agama terhadap perkembangan rezim politik, seperti demokrasi.
Agama juga memiliki
kontribusi terhadap politik, serta munculnya gerakan-gerakan baru terutama
gerakan agama berkaitan dengan perubahan dunia dari pemberontakan dan revolusi
yang dilakukan oleh kelompok masyarakat tertindas. Serta agama berkaitan dengan
institusi lain dimasyarakat.
Ex:
Dalam agama Abrahamik, politik dan agama berada dalam ketegangan dan
ketegangan itu memainkan peran aktif dalam perkembangan politik demokrasi
sebagai suatu bentuk partisipasi politik kaum urban. Karena agama Abrahamik
menekankan keadilan, dimana secara potensial berfungsi sebagai kekuatan kritik
terhadap politik yang berlaku dimuka bumi. (Turner, 2011).
Leung & Ang mengidentifikasi
beberapa contoh yang menunjukkan keterkaitan agama dengan berbagai institusi
lain di masyarakat. Misalnya saja seperti Islamisme yang saat ini lebih
bersifat politik daripada bisnis sehingga menyebabkan dampak Islam. Dalam
perbankan islam, bunga pinjaman dilarang karena dianggap sebagai bentuk
eksploitasi. Perubahan yang terjadi pada kehidupan agama pada satu sisi juga
berdampak pada perubahan aspek kehidupan lain dimasyarakat. Dalam konteks ini
agama berdampak pada relasi gender.
Analisis Drogus (1994) menunjukkan bahwa
munculnya kelompok keagamaan baru mengubah sikap dan peran gender, dimana sikap
peran dan gender dikalangan perempuan pada setiap kelompok agama ternyata
berbeda terutama dalam merespons kesempatan mengakses peran-peran tradisional
laki-laki dalam agama dan ranah publik.
3.
Konsekuensi
agama bagi perkembangan budaya.
Merujuk pada pemikiran Toffler dimana ia
mencoba mengkaitkan tiap keberagaman masyarakat dengan tahapan peradaban
manusia (agraris, industrial dan media).
Perkembangan teknologi yang pesat dalam
konteks globalisasi menjadikan pengatuhan dan pengalaman termasuk dalam
beragama berubah secara drastis. Teori-teori yang berkaitan dengan hal itu juga
mengalami perubahan. Media komunikasi dan informasi menjadi faktor yang semakin
dominanan dalam kehidupan manusia. Sebagai suatu lingkuungan kltral dan sosial,
media mengambil alaih beberapa fungsi kltural dan sosial institusionalisai
agama dan menghasilakn panduan spiritual, orientasi moral, tata cara praktik
ritual, rasa memiliki, dan “rasa menjadi” anggota masyarakat.
Menurut Cheong (2011), tmbuhnya dopsi
teknologi komunikasi digital menyebabkan terjadinya perubahan kepentingan dana
otoritas agama. Dalam konteks ini, termask bagaimana pemimpin agama mengakses
media baru untuk mengatkan dan memperluas otoritas dan pengaruh sosial mereka.
Keterjangkaan terhadap media digital memungkinkan para pemimpi agama seperti sponsor
menyebarluuaskan dakwahnya yang dapat dilakukan secara interaktif.
B. Agama sebagai “Constraint”
Agama sebagai faktor pendorong (enabler)
terhadap perubahan sosial, dapat pula sebalikanya, yakni menjadi penghambat
terjadinya perubahan di masyarakat. Unsur agama yang menjadi penghambat tersebut
terutama ialah nilai-nilai atau keyakinan yang cenderung merespon situasi yang
telah berubah. Selain itu terhadap faktor eksternal dan kelompok-kelopmok
kepentingan tertentu di masyarakat yang tidak menghendaki terjadinya perubahan
karena perubahan tersebut dianggap akan mengganggu kemapanan dan kenyamanan
yang selama ini dinikmatinya. Munculnya pluralitas gaya hidup dan nilai
menyebabkan ketidakpastian dan ketegangan di antara kelompok-kelompok dalam
masyarakat yang tidak dapat memenhi kebutuhan barunya.
Adanya faktor eksternal mempengaruhi
berbagai aspek kehidupan agama yang selanjutnya hal itu berdampak pada
kehidupan masyarakat. Secara mum, komuniatas Muslim mengalami marginalisasi
baik selama masa kolonialisme maupun pasca kolonialisme. Perempuan dalam hal
ini merupakan segmen masyarakat yang mengalami marginalisasi, tantangan yang
lebih berat dihadapi komunitas Muslim di negara-negara non Muslim.
Aune et al (2008), mengidentifikasi
meningkatnya sekularisasi di Amerika semakin mengaburkan batas-batas antara
ranah publik dan privat agama yang selanjutnya mempengaruhi kehidupan komunitas
muslim (terutama perempuan). Ruang-ruang privat semakin terkikis menjadi ruang
publik. Setelah peristiwa 11 Sepetember 2001, sebagai komunitas Muslim Amerika
menarik diri dari keterlibatan di ranah publik. Sebagian yang lain yang memilih
jalan untk terlibat dalam ranah publik secara terang-terangan menunjukkan
loyalitasnya sebagai negara sekuler tempat mereka hidup. Perempuan yang bisa
mengakses ranah publik umumnya hanya berasal dari kalangan akademisi
(terdidik). Dalam konteks ini, berkembang pula ideologi yang menyatakan bahwa
perempuan Muslim layak ditindas, pasif dan tunduk.
Dari gambaran di atas dapat dilihat
faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi perubahan sosial. Berbagai studi lain
menunjukkan bagaimana nilai-nilai agama dan kultural menjadi penghambat
kemajuan berbagai aspek kehidupan sosial.
C. Agama dan modernitas
Modernitas
merupakan istilah yang sering digunakan untuk menunjuk tahap perkembangan
sejarah peradaban manusia yang dimulai pada abad ke-18 yakni abad dimulainya
revolusi industri di Eropa. Modernitas merupakan kondisi transisi dari negara
yang baru muncul dan berkembang atau menunjuk tahap pembangunan hubungan
manusia. Sosiologi merupakan disiplin yang lahir sebagai respon terhadap
modernitas dengan mengembangkan model teoritis baru untuk menjelaskan tipe
masarakat baru.
Dalam
karyanya yang berjudul The Devinision of Labour, Durkheim menyatakan peran
penting agama khususnya dalam menjamin tatanan moral, integrasi sosial dan
identitas personal. Salah satu konsekuensi dari modernisasi ialah bahwa
individu tidak lagi terlalu dipaksa oleh tindakan kolektif dan warisan
budayanya, sebaliknya ia bebas mengembangkan talenta intrinsik dan
kepribadiannya. Ancaman utama masyarakat modern bukannya meningkatkatnya
diferensiasi sehingga nilai-nilai terpluralisasikan, melainkan hal yang penting
dan tidak dapat dihindarkan ialah individualisme yang tidak terkendali dan
amoral yang mengakhibatkan kehidupan kolektif dengan identitas dan etika
negatif (dalam Tole, 1993)
Perspektif
sosiologi agama dalam melihat hubungan antara modernitas dan agama secara umum
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perspektif pesimistik dan perspektif optimistik.
Pandangan pesimistik ini pada dasarnya melihat bahwa modernitas merupakan
ancaman serius bagi eksistensi agama. Sebaliknya perspektif optimistik
kebalikan dari perspektif pesimistik.
Study
yang dilakukan oleh Kluver dan Cheong (2007) menunjukkan bagaimana agama
mempunyai kemampuan adaptif terhadap modernitas studi yang dilakukan di
Singapura, untuk mengetahui bagaimana para pemimpin agama memahami peran
teknologi informasi dalam praktik agama, Hasilnya menunjukkan luasnya
penggunaan internet dan teknologi informasi lain dan hal itu bukanlah
ancaman bagi agama. Menurut Kong (2001)
Kemunculan internet dan penyiaran agama yang menyebabkan agama tertentu lebih
mampu menjangkau global dari yang lain, paling tidak mempunyai pengaruh meski
alam konteks clover meski dalam konteks lokal.
Kemampuan
adaptif agama terhadap modernitas secara implisit merupakan kritik langsung
terhadap asumsi model tunggal modernitas yakni Eropa (Westernisasi). Jepang
merupakan contoh negara yang mengalami proses modernisasi radikal dengan
kesadaran penuh menolak westernisasi. Dengan demikian, Terdapat hubungan timbal
balik antara agama dan modernitas. Agama tertentu sebagai sebuah institusi
sosial kenyataannya melakukan modernisasi sebagai respon terhadap perubahan
situasi dan kondisi yang melingkupi kehidupan umatnya. Modernisasi tersebut
meliputi aspek pemikiran yang mempunyai pengaruh terhadap praktik perjuangan
dan berbagai aspek kehidupan agama lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar