Sabtu, 02 April 2016

Agama Dan Perubahan Sosial



REVIEW
AGAMA DAN PERUBAHAN SOSIAL


KELOMPOK 6:
DAVID PERMANA SIAHAAN                 (13040564050)
PANDU WRIEDA R.Y                               (13040564051)
SARI WINDI            AZHARI                    (13040564053)
BILLAH NURLAILI Z                               (13040564055)
MUTOHAROH                                           ( 13040564056)


UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUKUM
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
PRODI SOSIOLOGI
2015



AGAMA DAN PERUBAHAN SOSIAL

            Agama dalam literatur sosiologi diperhitungkan sebagai salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial di Masyarakat. Teori-teori sosiologi yang dikembangkan oleh “trinitas”, yakni Durkheim, Marx dan Weber mengkaji keterkaitan antara agama dan perubahan sosial. Weber mengkaji tentang etika Protestan dapat dikatakan merupakan masterpiece pertama yang mengkaitkan agama dengan perubahan sosial.
            Dalam sosiologi struktral fungsional seperti Parson, meskipun berasumsi bahwa perubahan sosial berjalan secara gradual dan melihat agama sebagai fungsi integratif, secara implisit mengaitkan peran agama dalam proses perubahan sosial. Simbol agama dalam pandangan Parson berfungsi memobilitasi bagi perubahan sosial dalam hal perubahan struktur masyarakat, seperti otoritas atau sistem kekerabatan dan keluarga. Simbol agama pertama kali ialah mengintegrasikan individu yang mempunyai komitmen terhadap keyakinan dan agamanya, kemudian melalui simbol agama juga itu juga terjadi peluasan pengikut agama sehingga agama tidak hanya berfungsi integratif.
            Agama sendiri secara inhern sesungguhnya sudah mengandung unsur perubahan sosial sejak kelahirannya. Agama-agama besar dunia mapuun berbagai aliran atau sekte selalu terhadap keinginan atau semangat untuk melakukan perubahan sosial. Aspek kehidupan yang ingin diubah umumnya ialah sisi moralitas dan perilaku sosial. Misalnya, islam sejak kelahirannya mempunyai peran kuat untuk melakukan perubahan keyakinan, nilai-nilai, dan moralitas masyarakat Arab sebelum Islam ditandai dengan rendahnya penghargaan nilai-nilai kemanusiaan yang tercermin pada, misalnya pembunuhan terhadap setiap anak perempuan yang lahir.
            Agama secara teoritis dapat mendorong perubahan sosial sekaligus dapat berfungsi sebaliknya, yakni menghambat perubahan sosial. Hal ini disebabkan nilai-nilai agama menjadi pandangan hidup yang membimbing perilaku manusia. Menurut Sherkat (2006:7-8), agama dapat bersifat ekstensif dalam arti menarik banyak pihak terlepas ruang dan waktu, tetapi dapat pula bersifat intensif yang memungkinkan kontrol terhadap pemahaman dan perilaku. Agama merupakan elemen ideologis yang paling kuat di setiap masyarakat. Orientasi agama membantu masyarakat mendefinifinisikan itu “baik” dan “buruk” dan mengarahkan tindakan kolektif. Meskipun teoritis klasik berasumsi bahwa orientasi akhirat menghindarkan aktivitas politik, penelitian terkini menunjukkan bahwa kepercayaan, nilai, dan institsi agama merupakan faktor krusial dalam mendukng taktik berkonflik.
            Studi yang dilakukan Silberman et all. (2010) menunjukkan bagaimana agama merupakan pedang bermata dua yang dapat mendorong dan menghambat perubahan dan dapat memfasilitasi baik aktivisme damai maupun aktivisme penuh kekerasan. Pada pendekatan sistem agama yang digunakan dalam studi ini dapat terlihat dengan jelas kompleksitas hubungan antara agama dan perubahan melalui penjelasan makna perubahan dan pencapaiannya, perbedaan inheren antar kelompok agama, kompleksitas dan sistem makna gama, dan proses yang dapat memfasilitasi baik status quo atau aktivisme damai atau penuh kekerasan. Dari penjelasan diatas dapat di bedakan menjadi tiga yaitu Agama sebagai ‘Enabler”, Agama sebagai “Constraint”, dan Agama dan Modernitas”.

A.    Agama sebagai “Enabler
Disini agama dianggap sebagai faktor pendorong adanya perubahan sosial, khususnya pada proses perkembangan modernitas.
Perhatian agama dan modernitas disini meliputi 3 komponen yakni,
1.      Dampak agama terhadap norma ekonomi dan perilaku.
2.      Kontribusi agama terhadap perkembangan rezim politik, seperti demokrasi.
3.      Konsekuensi agama bagi perkembangan budaya.
Weber, Kristianitas sebagai suatu prakondisi kultural bagi perilaku ekonomi rasional.        Turner, agama mendukung kapitalisme dan etos demokrasi serta institusi sekuler yang mendasari hierarki otoritas karismatik organisasi-organisasi gereja kristen.
1.      Dampak agama terhadap norma ekonomi dan perilaku.
Sikap asketisme terhadap dunia (menghindarkan diri dari kemewahan dunia dan konsumsi berlebihan) menghasilkan semangat kapitalisme. Hal ini terjadi karena dengan sikap asketisme tersebut lalu dikaitkan  dengan etos kerja keras dan profesional maka akan menghasilkan surplus ekonomi dalam jumlah besar kemudian diinvestasikan dalam usaha ekonomi lanjutan sehingga terjadi multiplier effect secara ekonomis.
Merujuk pada teori yang dikemukakan oleh weber mengenai etika protestan dan semangat kapitalisme, weber menjelaskan bagaimana hubungan antara ide agama dan praktik etika aktivitas ekonomi. Menurut weber kepercayaan agama dalam kondisi tertentu mempunyai pengaruh besar terhadap pemikiran dan peilaku ekonomi.


Ex : Analisis Weber pada kelompok Protestan
Jika didalam kelompok tersebut terdapat sebuah kepercayaan  Calvinisme, dimana mereka mempercayai bahwa Tuhan telah menentukan siapa yang akan masuk surga dan siapa yang telah masuk neraka, tergantung bagaimana seseorang menjalani kehidupannya secara produktif atau tidak didunia. Jadi yang mempunyai kesuksesan dalam karier maka ia akan masuk surga. Orientasi hidup seperti ini mendorong Protestanisme menghasilkan kapitalisme industri.
Ada juga konsep Calling, dimana mereka menganggap jika pekerjaan manusia itu sudah ditentukan oleh Tuhan. Kerja dalam panggilan tersebut dianggap sebagai sebuah ekspresi kecintaan seseorang pada dunia sekitarnya sehingga individu diharuskan bekerja keras dan berkomitmen dengan pekerjaannya yang merupakan perintah dari Tuhan. Kesuksesan dalam pekerjaan merupakan indikasi “keridhaan” Tuhan dan menunjukkan jika ia akan masuk surga. Serta dengan memiliki banyak uang merupakan bukti nyata individu dalam memenuhi panggilan Tuhannya.

2.      Kontribusi agama terhadap perkembangan rezim politik, seperti demokrasi.
Agama juga memiliki kontribusi terhadap politik, serta munculnya gerakan-gerakan baru terutama gerakan agama berkaitan dengan perubahan dunia dari pemberontakan dan revolusi yang dilakukan oleh kelompok masyarakat tertindas. Serta agama berkaitan dengan institusi lain dimasyarakat.
Ex:  Dalam agama Abrahamik, politik dan agama berada dalam ketegangan dan ketegangan itu memainkan peran aktif dalam perkembangan politik demokrasi sebagai suatu bentuk partisipasi politik kaum urban. Karena agama Abrahamik menekankan keadilan, dimana secara potensial berfungsi sebagai kekuatan kritik terhadap politik yang berlaku dimuka bumi. (Turner, 2011).
Leung & Ang mengidentifikasi beberapa contoh yang menunjukkan keterkaitan agama dengan berbagai institusi lain di masyarakat. Misalnya saja seperti Islamisme yang saat ini lebih bersifat politik daripada bisnis sehingga menyebabkan dampak Islam. Dalam perbankan islam, bunga pinjaman dilarang karena dianggap sebagai bentuk eksploitasi. Perubahan yang terjadi pada kehidupan agama pada satu sisi juga berdampak pada perubahan aspek kehidupan lain dimasyarakat. Dalam konteks ini agama berdampak pada relasi gender.
Analisis Drogus (1994) menunjukkan bahwa munculnya kelompok keagamaan baru mengubah sikap dan peran gender, dimana sikap peran dan gender dikalangan perempuan pada setiap kelompok agama ternyata berbeda terutama dalam merespons kesempatan mengakses peran-peran tradisional laki-laki dalam agama dan ranah publik.

3.      Konsekuensi agama bagi perkembangan budaya.
Merujuk pada pemikiran Toffler dimana ia mencoba mengkaitkan tiap keberagaman masyarakat dengan tahapan peradaban manusia (agraris, industrial dan media).  
Perkembangan teknologi yang pesat dalam konteks globalisasi menjadikan pengatuhan dan pengalaman termasuk dalam beragama berubah secara drastis. Teori-teori yang berkaitan dengan hal itu juga mengalami perubahan. Media komunikasi dan informasi menjadi faktor yang semakin dominanan dalam kehidupan manusia. Sebagai suatu lingkuungan kltral dan sosial, media mengambil alaih beberapa fungsi kltural dan sosial institusionalisai agama dan menghasilakn panduan spiritual, orientasi moral, tata cara praktik ritual, rasa memiliki, dan “rasa menjadi” anggota masyarakat.
Menurut Cheong (2011), tmbuhnya dopsi teknologi komunikasi digital menyebabkan terjadinya perubahan kepentingan dana otoritas agama. Dalam konteks ini, termask bagaimana pemimpin agama mengakses media baru untuk mengatkan dan memperluas otoritas dan pengaruh sosial mereka. Keterjangkaan terhadap media digital memungkinkan para pemimpi agama seperti sponsor menyebarluuaskan dakwahnya yang dapat dilakukan secara interaktif.

B.     Agama sebagai “Constraint
Agama sebagai faktor pendorong (enabler) terhadap perubahan sosial, dapat pula sebalikanya, yakni menjadi penghambat terjadinya perubahan di masyarakat. Unsur agama yang menjadi penghambat tersebut terutama ialah nilai-nilai atau keyakinan yang cenderung merespon situasi yang telah berubah. Selain itu terhadap faktor eksternal dan kelompok-kelopmok kepentingan tertentu di masyarakat yang tidak menghendaki terjadinya perubahan karena perubahan tersebut dianggap akan mengganggu kemapanan dan kenyamanan yang selama ini dinikmatinya. Munculnya pluralitas gaya hidup dan nilai menyebabkan ketidakpastian dan ketegangan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat yang tidak dapat memenhi kebutuhan barunya.
Adanya faktor eksternal mempengaruhi berbagai aspek kehidupan agama yang selanjutnya hal itu berdampak pada kehidupan masyarakat. Secara mum, komuniatas Muslim mengalami marginalisasi baik selama masa kolonialisme maupun pasca kolonialisme. Perempuan dalam hal ini merupakan segmen masyarakat yang mengalami marginalisasi, tantangan yang lebih berat dihadapi komunitas Muslim di negara-negara non Muslim.
Aune et al (2008), mengidentifikasi meningkatnya sekularisasi di Amerika semakin mengaburkan batas-batas antara ranah publik dan privat agama yang selanjutnya mempengaruhi kehidupan komunitas muslim (terutama perempuan). Ruang-ruang privat semakin terkikis menjadi ruang publik. Setelah peristiwa 11 Sepetember 2001, sebagai komunitas Muslim Amerika menarik diri dari keterlibatan di ranah publik. Sebagian yang lain yang memilih jalan untk terlibat dalam ranah publik secara terang-terangan menunjukkan loyalitasnya sebagai negara sekuler tempat mereka hidup. Perempuan yang bisa mengakses ranah publik umumnya hanya berasal dari kalangan akademisi (terdidik). Dalam konteks ini, berkembang pula ideologi yang menyatakan bahwa perempuan Muslim layak ditindas, pasif dan tunduk.
Dari gambaran di atas dapat dilihat faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi perubahan sosial. Berbagai studi lain menunjukkan bagaimana nilai-nilai agama dan kultural menjadi penghambat kemajuan berbagai aspek kehidupan sosial.

C. Agama dan modernitas
Modernitas merupakan istilah yang sering digunakan untuk menunjuk tahap perkembangan sejarah peradaban manusia yang dimulai pada abad ke-18 yakni abad dimulainya revolusi industri di Eropa. Modernitas merupakan kondisi transisi dari negara yang baru muncul dan berkembang atau menunjuk tahap pembangunan hubungan manusia. Sosiologi merupakan disiplin yang lahir sebagai respon terhadap modernitas dengan mengembangkan model teoritis baru untuk menjelaskan tipe masarakat baru.
Dalam karyanya yang berjudul The Devinision of Labour, Durkheim menyatakan peran penting agama khususnya dalam menjamin tatanan moral, integrasi sosial dan identitas personal. Salah satu konsekuensi dari modernisasi ialah bahwa individu tidak lagi terlalu dipaksa oleh tindakan kolektif dan warisan budayanya, sebaliknya ia bebas mengembangkan talenta intrinsik dan kepribadiannya. Ancaman utama masyarakat modern bukannya meningkatkatnya diferensiasi sehingga nilai-nilai terpluralisasikan, melainkan hal yang penting dan tidak dapat dihindarkan ialah individualisme yang tidak terkendali dan amoral yang mengakhibatkan kehidupan kolektif dengan identitas dan etika negatif (dalam Tole, 1993)
Perspektif sosiologi agama dalam melihat hubungan antara modernitas dan agama secara umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perspektif pesimistik dan perspektif optimistik. Pandangan pesimistik ini pada dasarnya melihat bahwa modernitas merupakan ancaman serius bagi eksistensi agama. Sebaliknya perspektif optimistik kebalikan dari perspektif pesimistik.
Study yang dilakukan oleh Kluver dan Cheong (2007) menunjukkan bagaimana agama mempunyai kemampuan adaptif terhadap modernitas studi yang dilakukan di Singapura, untuk mengetahui bagaimana para pemimpin agama memahami peran teknologi informasi dalam praktik agama, Hasilnya menunjukkan luasnya penggunaan internet dan teknologi informasi lain dan hal itu bukanlah ancaman  bagi agama. Menurut Kong (2001) Kemunculan internet dan penyiaran agama yang menyebabkan agama tertentu lebih mampu menjangkau global dari yang lain, paling tidak mempunyai pengaruh meski alam konteks clover meski dalam konteks lokal.
Kemampuan adaptif agama terhadap modernitas secara implisit merupakan kritik langsung terhadap asumsi model tunggal modernitas yakni Eropa (Westernisasi). Jepang merupakan contoh negara yang mengalami proses modernisasi radikal dengan kesadaran penuh menolak westernisasi. Dengan demikian, Terdapat hubungan timbal balik antara agama dan modernitas. Agama tertentu sebagai sebuah institusi sosial kenyataannya melakukan modernisasi sebagai respon terhadap perubahan situasi dan kondisi yang melingkupi kehidupan umatnya. Modernisasi tersebut meliputi aspek pemikiran yang mempunyai pengaruh terhadap praktik perjuangan dan berbagai aspek kehidupan agama lain


Tidak ada komentar:

Posting Komentar