Kamis, 22 Oktober 2015

Analisis Film "I NOT STUPID"



         Pada film I not Stupid ini digambarakan pada kehidupan dan perjuangan yang diperankan dari tiga anak laki-laki yang duduk di Sekolah Dasar yang memiliki latar belakang berbeda, dan mereka berasal dari keluarga yang status sosial ekonomi juga berbeda. Mereka adalah Liu Kok Pin, Ang Boon Hock, dan Terry Kho.
            Kok Pin merupakan anak dari seorang pekerja biro iklan yang begitu  sibuk dan selalu pulang larut malam. Ibunya selalu menuntut Kok Pin unggul di akademisi dan ketika harapan ini tidak tercapai, Kok Pin selalu dipukuli dengan rotan dan ibunya sendiri pun setres. Terry adalah anak pengusaha sukses yang suka main perintah dan begitu juga dengan ibunya yang selalu mengatur. Terry sangat dimanjakan oleh orang tuanya sehingga keadaan seperti ini membuat dia menjadi anak yang cengeng dan tidak mandiri. Sedangkan Boon Hock adalah murid yang pintar dan suka membantu ibunya berjualan di  warung mie milik keluarga.
            Mereka bertiga berada pada kelas yang sama yaitu EM3. Di Singapura, saat anak-anak berusia 12 tahun, mereka dikelompokkan dalam 3 kelompok EM1 (anka-anak yang memiliki kecerdasan yang tinggi), EM2 (anak-anak dengan dengan kecerdasan rata-rata), dan EM3 (anak-anak dengan kecerdasan dibawah rata-rata). Pembagian kelas tersebut berdasarkan kemampuan anak-anak dalam meguasai matematika dan ilmu pengetahuan, Kok Pin, Boon Hock, dan Terry tidak menguasai mata pelajaran seperti itu sehingga mereka digolongkan dalam kelas EM3, golongan anak-anak yang kurang berprestasi. Pada film ini adanya sistem stratifikasi sosial dengan penggolongan atau klasifikasi pada siswa yang berprestasi atau tidak. Kemudian juga masalah pekerjaan atau pendapatan orang tua mereka yang berbeda. Dengan pekerjaan orang tua yang bisa dibilang lebih layak maka siswa akan lebih berprestasi. Karena adanya sarana, prasarana yang mendukung dalam proses belajar.
Pada film ini juga  menekankan adanya bentuk proses belajar berbeda-beda antara satu siswa dengan siswa yang lain, dengan peran orang tua sebagai motivator dalam belajar. Di sekolah tersebut menganggap anak yang pintar adalah yang menguasai matematika dan ilmu pengetahuan. Pada dasarnya yang sangat diinginkan oleh orang tua  agar mereka pintar dalam mata pelajaran matematika dan pengetahuan. Ketiga anak tersebut dianggap tidak berprestasi di sekolah karena tidak menguasai 2 mata pelajaran tersebut. Pada salah satu siswa yaitu, Kok Pin adalah anak yang memiliki bakat melukis. Tapi sayangnya bakat itu tidak berarti bagi sistem pendidikan disana. Kemudian juga di sekolah itu juga harus menguasai beberapa bahasa, yang paling ditekankan adanya bahasa Cina dan bahasa Inggris.
Film ini menggambarkan bagaimana tekanan yang harus diterima oleh anak-anak yang ada disekolah tersebut. Di sini lebih melihat anak dari kemampuan kognitifnya dengan menguasai beberapa mata pelajaran, dan disekolah ini pula meremehkan bakat yang terpendam dari siswanya. Sistem pendidikan di sekolah tersebut didasarkan klasifikasi berdasarkan kecerdasan kognitif di tambah lagi dengan orang tua yang memaksakan kehendak pada mereka. Hal itu di alami oleh Terry, anak orang kaya tapi teramat penurut pada ibunya, dan Kok Pin yang harus menerima sabetan rotan saat nilai ulangannya turun. Hasilnya Justru membuat Kok Pin semakin putus asa, sampai-sampai mencoba bunuh diri.   
                Pada Ekspektasi dan Nilai di dalam film tersebut tidak berjalan sesuai harapan, bagaimana seseorang siswa mencapai kesuksesannya kalau mereka tidak memiliki harapan untuk bisa mencapai kesuksesannya. Kemudian mereka sendiri mengangggap kalau hasil dari jerih payah mereka itu tidak dihargai, jadi mereka berfikir kalau apa yang mereka kerjakan tidak akan ada manfaatnya di mata orang lain. Ketika mereka sudah berusaha untuk menekuni mata pelajaran tersebut, tetapi masih saja nilainya belum mencapai yang diinginkan orang tua dan guru mereka.
            Film ini mencerminkan adanya stegma sosial yang terjadi di sekolah tersebut. Ketika mereka dianggap tidak menguasai mata pelajaran matematika dan ilmu pengetahuan, mereka dianggap tidak sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan disekolah tersebut. Mereka seakan-akan dikucilkan dari lingkungan sekolah bahkan mendapat ejekan dari teman-temannya. Di film ini juga adanya Labeling yang mana mereka bertiga dianggap bodoh oleh gurunya, ketika mereka sudah berusahan semaksimal mungkin untuk mendapatkan nilai yang baik, mereka tetap saja dianggap bodoh. Dari presepsi guru maka akan menyebar pada siswa-siswinya.
Perlu adanya penciptaan lingkungan kondusif dalam belajar. Pada film ini dalam proses pembelajarannya pun kurang menyenangkan. Kemudian penyampaian pelajarannya pun kurang menarik, Seharusnya guru mengerti kondisi kelas dan karakter siswa-siswinya. Dengan suasana dan cara mengajar guru dalam menyampaikan pelajaran yang berbeda akan memotivasi siswa untuk belajar lebih baik. Tetapi pada akhirnya ada seorang guru yang bisa menciptakan iklim psikologi yang efektif dengan memberi  motivasi dan semangat dalam belajar.
Kemudian tidak adanya strategi-strategi Asesmen di kelas. Asesmen adalah suatu proses mengamati sebuah sampel dari prilaku seorang siswa dan mengambil kesimpulan tentang pengetahuan dan kemampuan siswa tersebut. Di dalam film guru mengenmbangkan asesmen performa, guru melihat keterampilan siswa secara tidak tertulis. Yaitu penilaian terhadap bakat yang dimiliki oleh Liu Kok Pin. Kemudian guru juga mengembangkan asesmen yang dikembangkan sendiri oleh guru, asesmen tersebut digunakan untuk membantu meningkatkan pengajaran yang dapat memberikan motivasi terhadap siswa juga meningkatkan kemampuan kognitifnya.
                Jadi pada film ini bahwasanya dalam memperoleh pendidikan wajib adanya, dengan mencerminkan kemampuan kognitif yang berbeda-beda. Dalam pendidikan juga tidak terlepas dari peran orang tua maupun guru dan lingkungan. Pada film ini juga mengingatkan kita semua bahwa setiap anak memiliki kecerdasan sendiri-sendiri, kalau bisa kecerdasan mereka kita dukung dan kita kembangkan. Mereka tidak boleh dikucilkan maupun dipinggirkan, apalagi merampas hak pendidikannya, hanya karena gagal dalam ujian matematika atau mata pelajaran lainnya. Sesungguhnya tidak ada anak yang bodoh.


Selasa, 20 Oktober 2015

Implementasi Pendidikan Multikultur di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
        Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Indonesia selain menjadi salah satu negara multikultural juga tidak terlepas dari namanya pendidikan. Jadi pendidikan merupakan bagian dari kegiatan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Oleh sebab itu kegiatan pendidikan merupakan perwujudan dari cita-cita bangsa. Dengan demikian kegiatan pendidikan nasional perlu diorganisasikan dan dikelola sedemikian rupa supaya pendidikan nasional sebagai suatu organisasi dapat menjadi sarana untuk mewujudkan cita-cita nasional.
       Multikulturalisme berasal dari adanya suatu kebudayaan. Secara etimologi, multikulturalisme terdiri dari multi yang berarti “banyak”, kultur yang berarti “budaya”, dan isme yang berarti paham “aliran”. Multikulturalisme adalah suatu paham, corak, kegiatan, yang terdiri dari banyak budaya pada suatu daerah tertentu. Dapat dikatakan juga bahwa Pengertian “Multikultural” yaitu mencakup pengalaman yang membentuk persepsi umum terhadap usia, gender, agama, status sosial ekonomi, jenis identitas budaya, bahasa, ras, dan berkebutuhan khusus.
       Jadi di sini akan membahas pendidikan dan multikultural, bila di gabung akan memberikan definisi yaitu Pendidikan multikultural adalah suatu gerakan pembaharuan dan proses untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang setara untuk seluruh siswa. Sebagai sebuah gerakan pembaharuan, istilah   pendidikan multicultural masih dipandang asing bagi masyarakat umum, bahkan penafsiran terhadap definisi maupun pengertian pendidikan multicultural juga masih diperdebatkan di kalangan pakar pendidikan. Pendidikan multicultural dapat dirumuskan sebagai wujud kesadaran tentang keanekaragaman cultural, hak-hak asasi manusia serta pengurangan atau penghapusan jenis prasangka atau prejudice untuk suatu kehidupan masyarakat yang adil dan maju. Pendidikan multicultural juga dapat dijadikan instrument strategis untuk mengembangkan kesadaran atas kebanggaan seseorang terhadap bangsanya.
Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, suku, dan agama sehingga Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat multikultural. Akan tetapi, di lain pihak, realitas multikultural tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali kebudayaan nasional . Indonesia yang dapat menjadi integrating force yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut. Pluralisme pasti dijumpai dalam setiap komunitas masyarakat.
       Pada kondisi masyarakat Indonesia memiliki kemajemukan suku. Kemajemukan suku ini merupakan salah satu ciri masyarakat Indonesia yang bisa dibanggakan. Akan tetapi, tanpa kita sadari bahwa kemajemukan tersebut juga menyimpan potensi konflik yang dapat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini telah terbukti di beberapa wilayah Indonesia terjadi konflik seperti di Sampit (antara Suku Madura dan Dayak), di Poso (antara Kristiani dan Muslim), di Aceh (antara GAM dan RI), ataupun perkelahian yang kerap terjadi antarkampung di beberapa wilayah di pulau Jawa dan perkelahian pelajar antarsekolah (tawuran siswa). Dari keadaan itu telah menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini terus dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa.


BAB II
PEMBAHASAN
               
                Pendidikan multikultural merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dalam aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi, dan perhatian terhadap orang-orang dari etnis lain. Hal ini berarti pendidikan multikultural secara luas mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompok, baik itu etnis, ras, budaya, strata sosial, agama, dan gender sehingga mampu mengantarkan siswa menjadi manusia yang toleran dan menghargai perbedaan.
Sekolah harus ditanamkan nilai-nilai kebersamaan, toleran, dan mampu menyesuaikan diri dalam berbagai perbedaan. Proses pendidikan ke arah ini dapat ditempuh dengan pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural merupakan proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural diharapkan adanya kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial. Sekolah memegang peranan penting dalam menanamkan nilai multikultural pada siswa sejak dini. Bila sejak awal mereka telah memiliki nilai-nilai kebersamaan, toleran, cinta damai, dan menghargai perbedaan, maka nilai-nilai tersebut akan tercermin pada tingkah-laku mereka sehari-hari karena terbentuk pada kepribadiannya. Bila hal tersebut berhasil dimiliki para generasi muda, maka kehidupan mendatang dapat diprediksi akan relatif damai dan penuh penghargaan antara sesama dapat terwujud.
Hal ini berarti pendidikan multikultural secara luas mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompok, baik itu etnis, ras, budaya, strata sosial, agama, dan gender sehingga mampu mengantarkan siswa menjadi manusia yang toleran dan menghargai perbedaan.
Pendekatan-pendekatan dalam Proses Pendidikan Multikultural
Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural antara lain sebagai berikut:
1. Perubahan paradigma dalam memandang pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggungjawab primer dalam mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan peserta didik. Hal ini semata-mata berada di tangan mereka dan justru seharusnya semakin banyak pihak yang bertanggungjawab karena program-program sekolah terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah
2. Menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik. Yang dimaksud adalah tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompokkelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Secara tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient daripada dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk menghilangkan kecenderungan memandang peserta didik secara stereotype menurut identitas etnik mereka, dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan peserta didik dari berbagai kelompok etnik.
3. Karena pengembangan kompetensi dalam suatu kebudayaan baru biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa upaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.
4. Pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Adapun kebudayaan mana yang akan diadopsi itu ditentukan oleh situasi yang ada di sekitarnya.
5. Pendidikan multikultural, baik dalam sekolah maupun luar sekolah meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengelaman moral manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri peserta didik.
Dalam kajian yang lebih spesifik dan mengarah pada pendidikan dan proses pendidikan, pendidikan multikultural dimaknai sebagai pendidikan yang didasari konsep kebermaknaan perbedaan secara unik pada tiap orang dan masyarakat. Kelas disusun dengan anggota kian kecil sehingga tiap peserta didik memperoleh peluang belajar semakin besar sekaligus menumbuhkan kesadaran kolektif di antara peserta didik. Pada tahap lanjut menumbuhkan kesadaran kolektif melampaui batas teritori kelas, kebangsaan, dan nasionalitas melampaui teritori keagamaan dari tiap agama yang berbeda. Gagasan itu didasari asumsi bahwa setiap manusia memiliki identitas, sejarah, lingkungan, dan pengalaman hidup unik dan berbeda-beda. Perbedaan adalah identitas terpenting dan paling otentik tiap manusia dari kesamaannya. Kegiatan belajar mengajar bukan ditujukan agar peserta didik menguasai sebanyak mungkin materi ilmu atau nilai, tetapi bagaimana tiap peserta didik mengalami sendiri proses berilmu dan hidup di ruang kelas dan lingkungan sekolah.
Oleh karena itu, guru tidak lagi ditempatkan sebagai aktor tunggal dan terpenting dalam proses belajar mengajar atau yang serba tahu dan serba bisa. Guru yang efisien dan produktif ialah jika bias menciptakan situasi sehingga tiap peserta didik belajar dengan cara sendiri yang unik. Kelas disusun bukan untuk mengubur identitas personal, tetapi memperbesar peluang tiap peserta didik mengaktualkan kedirian masing-masing. Pendidikan sebagai transfer ilmu dan nilai tidak memadai, namun bagaimana tiap peserta didik menemukan dan mengalami situasi ber-iptek dan berkehidupan otentik.
Permasalahan yang selalu menyertai dalam pengimplementasian konsep ini adalah bagaimana memanipulasi kelas sebagai wahana kehidupan nyata dan membuat simulasi sehingga tiap peserta didik berpengalaman berteori ilmu dan menyusun sendiri nilai kebaikan. Guru tidak lagi sebagai gudang (banker) ilmu dan nilai uang setiap saat siap diberikan kepada peserta didik, tetapi sebagai teman dialog dan partner menciptakan situasi beriptek dan bersosial. Pembelajaran di kelas disusun sebagai simulasi kehidupan nyata sehingga peserta didik berpengalaman hidup sebagai warga masyarakat.
Peran guru dan sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural sangat penting seperti yang dikemukakan di atas. Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan merupakan lembaga yang berfungsi menanamkan kesadaran di kalangan generasi muda akan identitas dirinya, identitas kolektifnya serta menumbuhkan calon warga negara yang baik dan terpelajar di dalam masyarakat yang homogen ataupun yang majemuk. Sementara itu guru bertujuan untuk melatih dan mendisiplinkan pikiran peserta didik, memberikan pendidikan moral dan agama, menanamkan kesadaran nasionalisme dan patriotisme, menjadi warga negara yang baik, bahkan untuk rekreasi. Dengan demikian guru memiliki peranan penting dalam pendidikan multikultural karena ia merupakan salah satu target dari strategi pendidikan ini. Kesulitan memprediksi karakteristik masyarakat yang akan datang, karena dalam era global ini perkembangan masyarakat tidak linier lagi sehingga memerlukan lembaga pendidikan dan guru yang memiliki kesadaran multicultural, yaitu kesadaran untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada mereka yang berbeda kebutuhannya. Oleh karena itu, guru dan pihak sekolah perlu memahami berbagai kebutuhan peserta didik seperti yang dikemukakan berikut ini:
Pertama, peran guru dan sekolah dalam membangun paradigma Keberagamaan. Guru merupakan factor penting dalam mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif dan moderat di persekolahan, karena seorang guru yang memiliki paradigma pemahaman keberagamaan yang moderat akan mampu untuk mengajarkan dan mengimplementasikan nilai-nilai keberagaman tersebut kepada peserta didik di sekolah. Peran guru dalam hal ini meliputi: Pertama, seorang guru harus mampu bersikap demokratis, artinya dalam segala tingkah lakunya, baik sikap maupun perkataannya tidak diskriminatif (bersikap tidak adil atau menyingung) peserta didik yang menganut agama yang berbeda dengannya. Kedua, guru seharusnya memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kejadian-kejadian tertentu yang ada hubungannya dengan agama.
Selain guru, peran sekolah juga sangat penting dalam membangun lingkungan pendidikan yang pluralis dan toleran terhadap semua pemeluk agama. Untuk itu, sekolah sebaiknya memperhatikan : Pertama, sekolah sebaiknya membuat dan menerapkan undang-undang local, yaitu undangundang sekolah yang diterapkan secara khusus di satu sekolah tertentu. Dengan diterapkannya undang-undang ini diharapkan semua unsure yang ada seperti guru, kepala sekolah, pegawai administrasi dan peserta didik dapat belajar untuk selalu menghargai orang lain yang berbeda agama di lingkungan mereka. Kedua, untuk membangun rasa saling pengertian beragama antar peserta didik sekolah diharapkan berperan aktif dalam menggalakkan dialog keagamaan dengan bimbingan guru-guru. Ketiga , buku-buku pelajaran yang dipakai dan diterapkan di sekolah, sebaiknya adalah buku-buku yang dapat membangun wacana peserta didik tentang pemahaman keberagamaan yang moderat.
Kedua, peran guru dan sekolah dalam menghargai keragaman bahasa. Seorang guru harus memiliki sikap menghargai “keragaman bahasa” dan mempraktekkan nilai-nilai tersebut di sekolah, sehingga dapat membangun sikap peserta didik agar mereka selalu menghargai orang lain yang memiliki bahasa, aksen, dan dialek yang berbeda. Oleh karena itu, seorang guru harus menunjukkan sikap dan tingkah laku yang selalu menghargai perbedaan bahasa yang ada, dengan demikian diharapkan lambat laun para peserta didik juga akan mempelajari dan mempraktekkan sikap yang sama.
Ketiga, peran guru dan sekolah dalam membangun sensitivitas gender. Dalam pendidikan multicultural, pendidikan memiliki peran yang sangat strategis untuk membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya menjunjung tinggi hak-hak perempuan dan membangun sikap anti diskriminasi terhadap kaum perempuan. Oleh karena itu, guru dituntut untuk memiliki peran dalam membangun kesadaran peserta didik terhadap nilai-nilai kesadaran gender dan sikap anti diskriminasi terhadap kaum perempuan di sekolah dengan cara: Pertama , guru harus memiliki wawasan yang cukup tentang kesetaraan gender. Wawasan ini penting karena guru merupakan figur utama yang menjadi pusat perhatian peserta didik di kelas, sehingga diharapkan mampu bersikap adil dan tidak diskriminatif terhadap peserta didik perempuan maupun laki-laki. Kedua, seorang guru dituntut untuk mampu mempraktekkan nilai-nilai keadilan gender secara langsung di kelas atau di sekolah. Ketiga, sensitive terhadap permasalahan gender di dalam maupun di luar kelas.
Sementara itu, sekolah juga memiliki peran yang sangat penting dalam menanamkan nilai-nilai tentang kesetaraan dan keadilan gender dengan cara: Pertama, sekolah harus memiliki dan sekaligus menerapkan undangundang sekolah anti diskriminasi gender. Kedua, sekolah harus berperan aktif untuk memberikan pelatihan gender terhadap seluruh staff termasuk guru dan peserta didik agar penanaman nilai-nilai tentang persamaan hak dan sikap anti diskriminasi gender dapat berjalan dengan efektif. Ketiga, untuk memupuk dan menggugah kesadaran peserta didik tentang kesetaraan gender dan sikap anti diskriminasi terhadap kaum perempuan, maka pihak sekolah dapat mengadakan acara-acara seminar atau kegiatan social lainnya yang berkaitan dengan pengembangan kesetaraan gender. Keempat, peran guru dan sekolah dalam membangun sikap kepeduliaan sosial. Guru dan sekolah memiliki peran terhadap pengembangan sikap peserta didik untuk peduli dan kritis terhadap segala bentuk ketidakadilan sosial, ekonomi dan politik yang ada di dalam lingkungan sekitarnya maupun di luar lingkungan sekitar. Seorang guru harus memiliki wawasan yang cukup tentang berbagai macam fenomena social yang ada di lingkungan para peserta didiknya, terutama yang berkaitan dengan masalah kemiskinan, pengangguran, para siswa yang tidak dapat melanjutkan sekolah, korupsi, pergusuran dan lain-lain. Di sekolah atau di kelas, guru dapat menerapkan sikap tersebut dengan cara bersikap adil kepada seluruh siswa tanpa harusm mengistimewakan salah satu dari mereka meskipun latar belakang statu sosial mereka berbeda.
BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
         Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun Indonesia merupakan negara yang multikultural, dengan beragamnya budaya maka secara tidak langsung akan adanya kesenjangan atau bisa juga konflik. Tetapi dengan adanya pendidikan multikultural bisa juga digunakan untuk alternatif pemecahan konflik. Indonesia mempunyai semboya “Bhineka Tunggal Ika (Berbeda-beda tetapi tetap satu jua)”. Pada semboyan menggambarkan meskipun kita beragam tetapi bisa distukan melalui semangat Nasionalisme. Guru dan institusi pendidikan (sekolah) perlu memahami konsep pendidikan multikultural dalam perspektif global agar nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan ini dapat diajarkan sekaligus dipraktekkan di hadapan para peserta didik, sehingga diharapkan melalui pengembangan pendidikan multikultural ini para peserta didik akan lebih mudah memahami pelajaran dan meningkatkan kesadaran mereka agar selalu berperilaku humanis, pluralis dan demokratis. Pada akhirnya para peserta didik diharapkan menjadi “generasi multikultural” di masa yang akan datang untuk menghadapi kondisi masyarakat, negara dan dunia yang sukar diprediksi dengan kedisiplinan, kepedulian humanisme, menjunjung tinggi moralitas, kejujuran dalam berperilaku sehari-hari dan menerapkan nilai-nilai demokrasi, keadilan dan kemanusiaan.






DAFTAR PUSTAKA


Modal Sosial



Pentingnya Modal Sosial Untuk Pendidikan

     Pentingkah modal sosial untuk pendidikan? Sebelum lebih jauh mebahas itu, kita ketahui dulu apa itu modal sosial. Dalam penulisan ini ada dua konsep yang dikemukaan oleh dua ahli yaitu dari Hanifan, Pierre Bourdeu dan Coleman. Yang mana dari pemikiran Hanifan mengemukakan konsep sosial capital atau modal sosial yang petamakali muncul, kemudian diartikan bahwa modal sosial bukanlah modal dalam arti biasa seperti harta kekayaan atau uang, tetapi lebih mengandung arti kiasan, namun merupakan aset atau modal nyata yang penting dalam hidup bermasyarakat. Modal sosial termasuk kemauan baik, rasa bersahabat, saling simpati, serta hubungan sosial dan kerjasama yang erat antara individu dan keluarga yang membentuk suatu kelompok sosial.
     Berbeda dengan Hanifan, maka Pierre Bourdieu dalam tulisannya yang berjudul “ The Forms of Capital “(1986), melihat pentingnya pembahasan modal dalam segala bentuknya untuk lebih memahami struktur dan cara berfungsinya dunia sosial. Modal ekonomi dengan mudah dapat dikonversikan ke dalam bentuk uang dan dapat dilembagakan dalam bentuk hak kepemilikan. Modal budaya dapat dikonversikan menjadi modal yang memiliki nilai ekonomi dan dapat dilembagakan seperti kualifikasi pendidikan. Modal sosial dalam kondisi tertentu dapat dikonversikan ke dalam modal ekonomi.  Modal sosial merupakan keseluruhan sumber daya baik yang aktual maupun potensial yang terkait dengan kepemilikan jaringan hubungan kelembagaan yang tetap didasarkan pada saling kena dan saling mengakui.
     Kemudian Coleman dalam tulisan “ sosial capital in the creation of human capital” memperkenalkan modal sosial sebagai sarana konseptual untuk memahami konsep teoritis tindakan sosial dengan mengkaitkan komponen-komponen dari perspektif sosiologi dan ekonomi (menggunakan prinsip ilmu ekonomi  untuk menganalisis proses sosial). Terdapat dua aspek struktur sosial yang memudahkan tercipta dan berkembangnya modal sosial dalam berbagai bentuk. Pertama, aspek struktur sosial yang menciptakan pengungkungan dalam jaringan sosial yang membuat setiap orang saling berhubungan sedemikian rupa sehingga kewajiban-kewajiban maupun sanksi-sanksi dapat dikenakan kepada setiap orang yang menjadi anggota jaringan itu. Kedua, adanya organisasi sosial yang dapt digunakan untuk mencapai tujuan bersama. Pilar atau unsur modal sosial adalah (1) kewajiban dan harapan yang timbul dari rasa kepercayaan dalam lingkungan sosial,(2) pentingnya arus informasi yang lancar di dalam struktur sosial untuk mendorong berkembangnya kegiatan dalam masyarakat, (3) adanya norma-norma yang harus ditaati dengan sanksi yang jelas dan efektif.
Modal sosial pendidikan timbul dari adanya interaksi antara orang-orang dalam komunitas pendidikan. Meskipun interaksi terjadi karena sebagai alasan,orang-orang berinteraksi,berkomunikasi,dan kemudian menjalin kerja sama pada dasarnya dipengaruhi oleh keinginan untuk berbagi cara mencapai tujuan bersama yang tidak jarang berbeda dengan tujuan dirinya sendiri secara pribadi. Interaksi semacam ini melahirkan Modal Sosial Pendidikan yang ikatan-ikatan emosional yang menyatukan orang untuk mencapai tujuan bersama,yang kemudian menumbuhkan kepercayaan dan keamanan yang tercipta dari adanya relasi yang relatif panjang.
            Dari beberapa pengertian modal sosial dapat disimpulkan bahwa Sumber potensi atau aktual berupa hubungan sosial.  Kemudian dalam kaitannya dengan penguatan modal sosial bangsa melalui pendidikan akan diuraikan beberapa pemikiran penting berkaitan dengan komponen-komponen modal sosial yang meliputi: jaringan kerja sosial, norma sosial, dan sanksi. Di dalam jaringa kerja sosial, para pendidik maupun peserta didik dikuatkan akses terhadap informasi. Kemudian di dalam norma sosial, aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) dikuatkan agar menghasilkan hubungan timbal balik yang positif, munculnya harapan bagi kerjasama, kepercayaan, dan perilaku yang positif. Adapun di dalam sanksi, para peserta didik mentaati hukuman bagi pelanggaran dan penghargaan bagi  kepatuhan.
Pertama Jaringan kerja sosial. Terbatasnya akses informasi baik bagi pendidik maupun peserta didik merupakan petaka di dunia pendidikan. Dibutuhkan jaringan kerjasama baik bersifat individu maupun kelembagaan, yang memungkinkan setiap pendidi memiliki akses individu maupun institusi terhadap dunia luar. Melalui akses yang dibangun akan terjadi transformasi informasi yang berkesinambungan. Jaringan kerja sosial bisa berbentuk jaringan antar personal, jaringan antara individu dan institusi, ataupun jaringan antar institusi. Jaringan antar personal merupakan basis bagi semua bentuk jaringan sosial. Meskipun dibuka jaringan antar institusi sekalipun, tetaplah yang terlibat jaringan adalah orang perorang yang mewakilinya. Seberapa luas akses yang dimiliki individu maupun institusi akan menentukan ruang lingkup pembangunan modal sosial.
            Keterkaitan jaringan dan kelompok merupakan aspek vital dari modal sosial. Jaringan sosial terjadi berkat adanya keterkaitan antara individu dalam komunitas. Keterkaitan terwujud di dalam beragam tipe kelompok pada tingkat lokal maupun tingkat lebih tinggi. Jaringan hubungan sosial biasanya akan diwarnai oleh suatu tipologi khas sejalan dengan karakteristik dan orientasi kelompok. Pada kelompok sosial yang biasanya terbentuk secara tradisional atas dasar kesamaan garis keturunan (liniage), pengalaman-pengalaman sosial turun temurun (repeated social experiences),dan kesamaan kepercayaan pada dimensi Ketuhanan (religious belief)cenderung memiliki kohesifitas yang tinggi, tetapi rentang jaringan maupun trust yang terbangun sangat sempit. Sebaliknya, pada kelompok yang dibangun atas dasar kesamaan orientasi dan tujuan dengan ciri pengelolaan organisasi yang lebih modern akan memiliki tingkat partisipasi anggota yang lebih baik dan memiliki rentang jaringan yang lebih luas.
Kedua, Kepercayaan/Trust (kejujuran, kewajaran, sikap egaliter, toleransi, dan kemurahan hati). Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa trust itu berasal dari sebuah jaringan sebagai sumber penting tumbuh dan hilangnya  trust. Dalam pandangan Francis Fukuyama, trust adalah sikap saling mempercayai di masyarakat yang memungkinkan masyarakat tersebut saling bersatu dengan yang lain dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial. Fukuyama berpendapat bahwa kepercayaan adalah pengharapan yang muncul dalam sebuah komunitas yang berperilaku normal, jujur dan kooperatif berdasarkan norma-norma yang dimiliki bersama. Adanya jaminan tentang kejujuran dalam komunitas dapat memperkuat rasa solidaritas dan sifat kooperatif dalam komunitas.

Secara umum orang tua menginginkan pendidikan yang lengkap untuk anak-anak mereka. Mereka menginginkan generasi mudanya dapat bertahan hidup dan berkembang menjadi warga negara yang berbudaya dan berpendidikan serta memiliki kemampuan untuk berperan secara penuh dalam kehidupan masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Fiske, 1993 bahwa orang tua adalah pelanggan utama sekolah yang mempunyai tujuan pokok agar anak-anak mereka memperoleh pendidikan yang bermutu. Oleh karena itu, bagaimana sebuah sekolah menciptakan kepercayaan orang tua untuk menyekolahkan anaknya pada sekolah tersebut. Pengoptimalan sumber daya yang ada memang diperlukan untuk melakukan kegiatan yang membangun nilai tambah bagi lembaga pendidikan.

            Ketiga, Norma biasa disebut pula dengan kaidah sosial, yang pada hakekatnya merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seyogyanya dilakukan atau yang seyogyanya tidak dilakukan, yang dilarang dijalankan atau yang dianjurkan untuk dijalankan. Dengan kaidah sosial ini hendak dicegah gangguan-gangguan kepentingan manusia, akan dapat dihindarkan bentrokan antar kepentingan, akan diharapkan terlindungi kepentingan-kepentingan manusia. Kaidah sosial ini ada yang berbentuk tertulis ada pula yang merupakan kebiasaan yang diteruskan dari generasi ke generasi.
            Norma sosial tidak bisa dipisahkan dari jaringan kerja sosial, karena dengan terbentuknya jaringan kerja sosial maka terbangunlah norma sosial. Ada tiga (3) hal penting yag menyangkut norma sosial.(Lawang, 2005: 70) Pertama, norma itu muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan. Kedua, norma bersifat resiprokal, dimana isi norma menyangkut hak dan kewajiban para pihak yang  dapat menjamin keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan tertentu. Ketiga, jaringan yang terbina lama dan menjamin keuantungan para pihak secara merata, akan memunculkan norma keadilan.
 Sanksi sebenarnya merupakan reaksi, akibat atau konsekwensi pelanggaran kaidah sosial. Sanksi dalam arti luas dapat bersifat menyenangkan atau positif, yang berupa penghargaan (ganjaran) seperti rasa hormat, simpati, dan pemberian penghargaan. Adapun sanksi yang bersifat negatif berupa hukuman seperti sikap antipati, celaan atau pidana. Secara umum, pengertian sanksi adalah yang bersifat negatif. Dengan ancaman hukuman hendak dicegah oleh masyarakat kaidah sosial. Adapun penghargaan digunakan untuk mendorong atau merangsang agar setiap orang mentaati atau mematuhi kaidah sosial atau norma yang ada. Dengan demikian pada hakekatnya sanksi bertujuan untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat, yang telah terganggu oleh pelanggaran-pelanggaran kaidah, agar kembali pada keadaan semula.
             Jadi kesimpulan dari penyataan diatas bahwa, modal sosial sangat penting untuk pendidikan, karena di dalam modal sosial terdapat jaringan kerja sosial, norma sosial, dan sanksi yang mempengaruhi dalam pendidikan. Kenapa bisa dikatakan mempengaruhi? Karena dalam pendidikan harus adanya suatu jaringan untuk mendapatkan informasi-informasi maupun pengetahuan baru yang belum kita dapatkan. Melalui akses yang dibangun akan terjadi transformasi informasi yang berkesinambungan. Contohnya pada masyrakat tradisional yang masih belum terjamah oleh teknologi karena tidak adanya jaringan sosial, jadi mereka masih menggunakan cara-cara tradisional. Juga pada pendidikan modernpun bila tidak adanya jaringan sosial maka kurangnya pengetahuan yang akan diberikan pada peserta didiknya.  Norma sosial juga mempengaruhi dalam proses pendidikan, dengan adanya norma yang disepakati akan membentuk anak patuh terhadap aturan-aturan. Contohnya: Pendidikan yang ada disekolah formal membutk peraturan yang sudah ditetapkan oleh sekolah, jadi siswa wajib untuk mentatinya. Sanksi juga mempengaruhi proses pendidikan, sanksi akan dikeluarkan bila sesorang tidak mematuhi norma/ kesepakatan bersama. Sanksi digunakan untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat, yang telah terganggu oleh pelanggaran-pelanggaran kaidah, agar kembali pada keadaan semula  Contoh: Pendidikan di sekolah bila siswa melanggar norma yang berlaku akan mendapatkan sanksi sesuai dengan kesepakatan yang sudah ada.





  

DAFTAR PUSTAKA