Selasa, 20 Oktober 2015

Analisis Teori



Kenakalan remaja dan kaitanya dengan kriminalitas :  Remaja 16 Tahun yang Mengubur Teman Sekolahnya dalam Karung

            Kenakalan remaja saat ini merupakan salah satu fenomena social yang konkrit dalam masyarakat sekarang. Perilaku –perilaku menyimpang remaja yang merupakan peralihan dari masa anak anak menuju remaja yang nantinya menuju proses dewasa. Perilaku-perilaku menyimpang remaja pada saat ini telah mengarah banyak ke hal-hal yang mengarah ke tindakan kriminalitas. Faktor lingkungan yang kurang baik serta pola didik dari keluarga yang kurang baik sering kali memicu tindakan-tindakan yang memicu timbulnya criminal. Faktor kemiskinan dan tuntutan gaya hidup remaja sekarang juga ikut andil dalam factor pemicu tindakan kriminal di kalangan remaja saat ini. kemiskinan merupakan masalah sosial baik  di tingkat nasional maupun  regional  yang  perlu mendapatkan penanganan yang serius dari semua elemen masyarakat. Ada pandangan di kalangan ilmuwan sosial bahwa kemiskinan sebenarnya tidak lahir dengan sendirinya dan  juga bukan muncul tanpa sebab, tetapi kondisi ini banyak  dipengaruhi oleh struktur  sosial, ekonomi dan politik. Jon Sobrino (1993)  menelaah keberadaan  orang miskin  sebagai rakyat yang tertindas dalam dua perspektif. 
            Yang paling disorot adalah keluarga sebagai institusi pertama seorang anak mulai belajar bersosialisasi karena anak mendapatkan apa yang pertama mereka kenal seperi aplikasi dari penanaman nilai-nilai dan norma–norma yang bersifat sederhana. Alvin S Johnson (2006) menjelaskan fungsi keluarga sebagai lading terbaik dalam penyemaian nilai-nilai agama yang kompleks,terikat dan konsisten. Orang tua memiliki peranan yang sangat penting dan strategis dalam mentradisikan ritual keagamaan sehingga nilai-nilai keagamaan dapat diaplikasikan ,ditanamakn dengan pendekatan personal kepada anak.
            Dalam kajian yag akan diangkat dalam makalah ini adalah analisis tentang kenakalan remaja di kalangan pelajar SMA. Hal ini menjadi sorotan banyak pihak ketika nilai-nilai dan norma telah luntur jelas dikalangan remaja sekarang ini. Dalam hal ini terjadi karena adanya diintegrasi antat pihak satu dengan pihak yang lain sehingga terjadi ketidaksepahaman tujuan. Kondisi psikis remaja yang liar dan kurang labil merupakan salah factor pemicu terjadinya kekerasan pada remaja.
Pada kasus ini pada remaja yang kriminalitas yaitu kasus pembunuhan. Seorang siswi di Bandar Lampung, Dwi Komalasari (16) dilaporkan hilang oleh keluarganya. Selang beberapa hari, mayat pelajar kelas II SMA ini ditemukan dengan kondisi mengenaskan. Mayat pelajar itu ditemukan di dalam karung dan ditanam di sebuah gudang dengan kedalaman 40 cm. Setelah diselidiki, ternyata pembunuhnya adalah teman satu sekolah Dwi yang berinisial DE (16). DE lantas ditangkap penyidik Polresta Bandar Lampung, Rabu (18/7/2012). Selain membunuh Dwi, DE merampas barang-barang milik korban seperti HP dan sepeda motor Yamaha Mio. DE lalu ditetapkan menjadi tersangka.
           



ANALISIS TEORI

1.      Teori Stratifikasi Fungsional dan Kritiknya
Teori stratifikasi fungsional yang  diungkapkan oleh Kingsley Davis dan Wilbert Moore (1945) menjelaskan bahwa stratifikasi sosial juga merupakan fenomena universal yang sangat penting. Tidak ada masyarakat yang tidak berstratifikasi dan berkelas sosial. Stratifikasi adalah suatu keharusan fungsional.  Mereka memandang sistem stratifikasi sebagai sebuah struktur, dan tidak mengacu pada stratifikasi individu pada system stratifikasi, melainkan pada sistem posisi (kedudukan).
Pusat perhatiannya ialah bagaimana agar posisi tertentu memiliki tingkat prestise berbeda dan bagaimana agar individu mau mengisi posisi tersebut. Masalah fungsionalnya ialah bagaimana cara masyarakat memotivasi dan menempatkan setiap individu pada posisi yang tepat. Secara stratifikasi masalahnya ialah bagaimana meyakinkan individu yang tepat pada posisi tertentu dan membuat individu tersebut memiliki kualifikasi untuk memegang posisi tersebut.
Penempatan sosial dalam masyarakat menjadi masalah karena tiga alasan mendasar,
1.      Posisi tertentu lebih menyenangkan daripada posisi yang lain
2.      Posisi tertentu lebih penting untuk menjaga keberlangsungan masyarakat daripada posisi yang lain
3.      Setiap posisi memiliki kualifikasi dan bakat yang berbeda.
Posisi yang tinggi tingkatannya dalam stratifikasi cenderung untuk tidak diminati tetapi penting untuk menjaga keberlangsungan masyarakat, juga memerlukan bakat dan kemampan terbaik. Pada keadaan ini masyarakat dianjurkan agar memberi reward kepada individu yang menempati posisi tersebut agar dia menjalankan fungsinya secara optimal. Jika ini tidak dilakukan maka masyarakat akan kekurangan individu untuk mengisi posisi tesebut yang berakibat pada tercerai-berainya masyarakat.
Status sosial yang memaksa untuk melakukan hal yang tidak disangka-sangka karena hanya faktor ekonomi. Faktor strata dan  kelas sosial juga menjadi salah satu pemicu terjadinya konflik sosial dalam remaja. Faktor gengsi yang membuat remaja sekarang lebih mudah terpancing sehingga sering muncul konflik sosial diantara kelompok remaja-remaja seperti tawuran,perkelahian antar remaja SMA. Dengan adanya perbedaan status akan mengakibatkannya terjadinya kekerasan ataupun pembunuhan. Faktor strata dan  kelas sosial juga menjadi salah satu pemicu terjadinya konflik sosial karena kecemburuan sosial.

2.      Teori Konflik Sosial
Teori konflik adalah teori yang sangat menentang, dan yang paling utama, menjadi alternatif menggantinya terhadap posisi dominan itu. Perubahan dramatis baru terjadi di tahuntahun terakhir. Teori konflik ini sangatlah menjadi relevan di saat ia mengkritik bahwasanya suatu masyarakat jika selalu terjalani terhadap fungsi yang ada maka kemudian perubahan, perkembangan cendrung lebih lambat. Karena salah satu tokoh Ralf Dahrendorf bahwasanya masyarakat itu tidak selalu seimbang akan tetapi akan mengalami perubahan pada masyarakat itu sendiri. Teori konflik ini berasal dari berbagai sumber yang lain seperti teori Marxian dan  pemikiran konflik social dari Simmel. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik menyediakan alternatif terhadap fungsionalisme structural. Namun kemudian konflik ini tidak bisa menggantikan .masalah mendasar dalam teori konflik adalah teori ini tidak akan pernah berhasil memisahkan dirinya dari akar structural funsionalisme. Teori ini bisa dibilang merupakan sejenis funsionalisme structural yang angkuh ketimbang teori yang benar-benar berpandangan kritis terhadap masyarakatnya.
Dahrendorf ( 1959, 1968) adalah seorang tokoh utama yang berpendirian bahwa masyarakat itu memiliki dua wajah yaitu konflik dan consensus.di mana hal keduanya ini terkenal saling berlawanan saling mengkritisi tentunya ada kelemahan, kelebihan masing-masing. Keduanya ini dituntut untuk saling menguji diri. Adapun teori konflik harus menguji yang naman konflik kepentingan dan penggunan kekerasan yang mengikat masyarakt bersama dihadapan tekanan itu. Teori consensus harus menguji nilai integrasi yang kemudian terbangun dalam masyarakat. Meski ada hubungan timbal balik antara konsensus dan konflik , Dahrendorf tetap optimis mengenai pengembangan teori sosiologi tunggal yang mencakup kedua prose situ. Dia menyatakan, Mustahil menyatukan teori untuk menerangkan masalah yang telah membingungkan pemikir sejak awal perkembangan filsafat barat ( 1959:164.) untuk itu maka kemudian guna menghindari dari teori tunggal itu Dahrendorf membangun teori konflik masyarakat.
Menurut toritisi konflik bahwasanya masyrakat disatukan oleh” ketidakbebasan yang dipaksakan”. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Otoritas . Dahrendorf memusatkan perhatiaanya pada struktur social yang lebih luas. Inti tesisnya adalah gagasan bahwa berbagai posisi dalam suatu masyarakat mempunyai kualitas otoritas yang berbeda. Menurut Dahrendorf, tugas pertama analisi konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas didalam masyarakat.karena memusatkan perhatian kepada struktur bersekala luas seperti peran otoritas. Dahrendorf ditentang oleh para peneliti yang memusarkan perhatiannya tingkat individual. Dahrendorf, menyatakan bahwa masyarakat tersusun dari sejumlah unit yang ia sebut asosiasi yang dikoordinasikan secara inperatif. Masyarakat terlihat sebagai asosiasi individu yang dikontrol oleh hierarki posisi otoritas. Otoritas dalam setiap asosiasi bersifat dikotomi, karena itu hanya ada dua, kelompok konflik yang dapat terbentuk didalam setiap asosiasi. Kelompok yang memegang posisi otoritas dan kelompok subordinat yang memiliki kepentingan tertentu Ada sebuah konsep kunci lain dalam teori konflik Dahrendorf , yakni kepentingan. Kelompok yang berada diatas dan yang berada sibawah. Didifinisikan berdasarkan kepentingan bersama.
Untuk tujuan analisis sosiologis tentang konflik kelompok, perlu menganut orientasi structural dari tindakan pemegang posisi tertentu. Dengan analogi terhadap orientasi kesadaran   ( Subjektif) tampaknya dapat dibenarkan untuk mendiskripsikan ini sebagai kepentingan, asumsi kepentingan objektif yang diasosiasikan dengan posisi social tidak mengandung rimifikasi atau implikasi psikologis ini adalah termasuk dlam level analisi Sosiologis ( Dahrendorf, 1959:175) Dalam setiap asosiasi , orang yang berbeda pada posisi dominan berupaya mempertahankan Status Qou, sedangkan orang yang berbeda berada dalam posisi subordianat berupaya bagaimana bisa menciptakan perubahan.adapun konflik kepentingan akan selalu ada sepanjang waktu.
Teori konflik Ralf Dahrendorf muncul sebagai reaksi atas teori fungsionalisme struktural yang kurang memperhatikan fenomena konflik dalam masyarakat. Teori Konflik adalah suatu perspektif yang memandang masyarakat sebagai sistem sosial yang terdiri atas kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda dimana ada suatu usaha untuk menaklukkan komponen yang lain guna memenuhi kepentingan lainnya atau memproleh kepentingan sebesar-besarnya.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya.
Teori- teori ini juga berpendapat bahwa manusia juga dibatasi oleh kemudahan yang dia miliki posisinya dalam struktur  ketidaksetaraan dalam masyarakat mereka. Ini menekankan penagruh perilaku dalam distribusi kemudahan yang tidak merata yang dalam masyarakat biasanya dikaitkan dengan teori struktural-konflik. Ada beragam struktur ketidaksetaraaan dimasyarakat. Ralf Dahrendorf dalam sub bab otoritas yang melekat pada posisi adalah unsure kunci dalam analisis Dahrendorf. Otoritas tersirat menyatukan superordinasi dan subordinasi artinya mereka berkuasa karena harapan orang-orang yang berada disekitar mereka,bukan karena ciri-ciri psikologis dari mereka.

3.      Teori Thomas Hobbes
Rule (1988) menganalisis akar kekerasan melalaui pemikiran Thomas Hobbes. Hobbes berpendapat melalui pemikiranya ; hom homini lupus atau Man to Man is Arrant Wolf (Manusia adalah serigala bagi serigala lain). Hanya saja manusia menurut Hobbes masih memiliki kesadaran dan kemampuan untuk mengkalkulasi kekerasan. Artinya,manusia menggunakan kekerasan untuk menghadaoi kompetensi self fish dan pertandingan zero sum. Ada kepentingan pribadi yang harus dimenangkan melalui kekuatan atas kepentingan orang lain. Kepentingan yang menyebabkan adanya kekerasan sampai-sampai pembunuhan sekaligus. Dengan rasa sadar orang-orang inilah yang menyebabkan kekerasan dipilih sebagai jalan satu satunya alat untuk memenangkan suatu kepentingan atau mewujudkan kepentingan mereka sendiri.  Kemampuan serta rasa keberanian yang memuncak serta tingkah laku yang tak terkontrol menyebabkan konflik atau crush dalam kecemburuan sosial. Dalam kaitanya remaja,ambisi dalam memenangkan suatu keopentingan pribadi serta keegoisan dan arogansi itu lebih tinggi dibandingkan orang yang lebih dewasa. Kemampuan serta rasa keberanian yang memuncak serta tingkah laku yang tak terkontrol menyebabkan konflik atau crush dalam remaja sangat rentan terjadi.

4.      Teori Peranan sosial
Peranan sosial adalah suatu perbuatan seseorang dengan cara tertentu dalam usaha menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan status yang dimilikinya. Seseorang dapat dikatakan berperanan jika ia telah melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan status yang dimilikinya dimasyarakat. Ciri pokok yang berhubungan dengan istilah peranan sosial adalah terletak pada adanya hubungan-hubungan sosial seseorang dalam masyarakat yang menyangkut dinamika dari cara-cara bertindak dengan berbagai norma yang berlaku di dalam masyarakat. Peranan sosial seseorang lebih banyak menunjukkan suatu proses dari fungsi dan kemampuan mengadaptasi diri dalam lingkungan sosialnya. Dalam pembahasan tentang aneka macam peranan yang melekat pada individu-individu dalam masyarakat, Soerjono mengutip pendapat Marion J. Levy Jr., bahwa ada beberapa pertimbangan sehubungan dengan fungsinya, yaitu sebagai berikut :
Bahwa peranan-peranan tertentu harus dilaksanakan apabila struktur masyarakat hendak dipertahankan kelangsungannya. Peranan tersebut seyogyannya diletakan pada anggota masyarakat yang dianggap mampu untuk melaksanakannya. Menurut Gandarsih dalam ungkapan menyikapi wanita dalam kemajuan jaman. Seperti halnya Comte sangat dipengaruhi oleh pemikiran ilmu alam. Pemikiran Comte yang dikenal dengan aliran positivisme, memandang bahwa masyarakat harus menjalani berbagai tahap evolusi yang pada masing-masing tahap tersebut dihubungkan dengan pola pemikiran tertentu. Selanjutnya Comte menjelaskan bahwa setiap kemunculan tahap baru akan diawali dengan pertentangan antara pemikiran tradisional dan pemikiran yang bersifat progresif. Sebagaiman Comte menyatakan bahwa dengan adanya pembagian kerja, masyarakat akan menjadi semakin kompleks, terdeferiansi dan terspesialisas.

5.      Teori Tindakan
Dalam sosiologinya Weber, secara eksplisit menyatakan kalau tindakan sosial itu sebagai pokok bahasan sentral. Sumbangan Weber terhadap pemikiran tentang tindakan sosial membantu memperbaiki pemahaman tentang watak dan kemampuan-kemampuan aktor sosial secara individu melalui sebuah tipologi tentang berbagai cara dimana individu yang bersangkutan bisa bertindak di lingkungan eksternalnya. Weber menekankan tindakan pada makna dan pemahaman untuk menunjukan betapa pentingnya hermeneutik dan fenomenologi di dalam teori tindakan sosial, dimana sejumlah aktor saling mengorientasikan makna dari tindakan-tindakan sosial mereka, sehingga sampai pada batas tertentu, aktor yang satu memperhatikan dan mempertimbangkan perilaku aktor lain, aktor tersebut bisa jadi sama-sama sepakat dalam interpretasi-interpretasi mereka atas perilaku aktor lain, atau bisa juga tidak. Pandangan Weber melakukan pemahaman melalui presisi penekanan pada kondisi-kondisi sosial, dan pada bentuk hal lain menempatkan kesadaran, kondisi pikiran dan perasaan, serta orientasi-orientasi aktor pada fokus terpenting. hal ini semua, pada gilirannya, menghambat dan memengaruhi persepsi aktor tentang bagaimana aktor tersebut bertindak di dalam dunia untuk mempertahankan atau mengubah dunia. Tingkat integrasi ini pada gilirannya akan terus dipengaruhi oleh proses-proses sosiasi yang dinamis yang melibatkan para anggotanya, baik itu melalui ikatan-ikatan dan solidaritas yang dibangun melalu bentuk-bentuk rasional berupa perjuangan bersama melawan musuk atau pesaing tertentu. Loyalitas yang diprovokasi oleh rahasia-rahasia bersama, hubungan-hubungan perbedaan dan superordinasi yang direproduksi dalam hierarki instisusional, maupun persahabatan akrab dan intimasi yang lahir dari berbagai pangan dan hidup ataupun hubungan-hubungan terhormat lainnya. Secara sosial, di dalam masyarakat-masyarakat modern yang beragam para aktor akan menghadapi situasi-situasi yang penuh dengan sederatan aktor yang memiliki afiliasi yang beragam ini,yang masing-masing juga terlibat dalam beragam paduan hubungan yang aktif, saling bersimpangan dan saling tumpang tindih
Tindakan sosial terjadi ketika individu melekatkan makna subjektif pada tindakan mereka. Hubungan sosial menurut Weber  yaitu suatu tindakan dimana beberapa aktor yang berbeda-beda, sejauh tindakan itu mengandung makna dihubungkan serta diarahkan kepada tindakan orang lain. Masing-masing individu berinteraksi dan saling menanggapi . Weber juga membicarakan bentuk-bentuk empiris tindakan sosial dan antar-hubungan sosial tersebut. Tindakan adalah segala aspek yang memiliki makna dibalik perlakuan atau kegiatan meskipun pelaku tidak berbuat atau melakukan sesuatu yang bermakna kepada orang lain  cakupan secara luas.  Weber membedakan dua jenis dasar dari pemahaman yang bersifat tafsiran dari arti, dari tiap jenis pemahaman ini bisa dibagi sesuai dengan masing-masing pertaliannya, dengan menggunakan tindakan rasional ataupun emosional. Jenis pertama adalah pemahaman langsung yaitu memahami suatu tindakan dengan pengamatan langsung. Kedua, pemahaman bersifat penjelasan. Dalam tindakan ini tindakan khusus aktor ditempatkan pada suatu urutan motivasi yang bisa dimengerti, dan pemahamannya bisa dianggap sebagai suatu penjelasan dari kenyataan berlangsungnya perilaku.
Max Weber dalam (J Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, 2006:18)mengklasifikasikan empat jenis tindakan sosial yang mempengaruhi sistem dan struktur sosial masyarakat yaitu;
Rasionalitas instrumental
Yaitu tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk mencapainya.  Tindakan yang dilaksanakan setelah melalui tindakan matang mengenai tujuan dan cara yang akan ditempuh untuk meraih tujuan itu. Jadi, Rasionalitas instrumental adalah tindakan yang diarahkan secara rational untuk mencapai suatu tujuan tertentu dan diterapkan dalam suatu situasi dengan suatu pluralitas cara-cara dan tujuan-tujuan dimana si pelaku bebas memilih cara-caranya secara murni untuk keperluan efisiensi.
Rasionalitas yang berorientasi nilai
Alat-alat yang ada hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara tujuan-tujuannya sudah ada didalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut. Tindakan sosial jenis ini hampir serupa dengan kategori atau jenis tindakan sosial rasional instrumental, hanya saja dalam werk rational tindakan-tindakan sosial ditentukan oleh pertimbangan atas dasar keyakinan individu pada nilai-nilai estetis, etis dan keagamaan, manakala cara-cara yang dipilih untuk keperluan efisiensi mereka karena tujuannya pasti yaitu keunggulan.

 Tindakan tradisional
Seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar  atau perencanaan. Tindakan sosial semacam ini bersifat rasional, namun sipelaku tidak lagi memperhitungkan proses dan tujuannya terlebih dahulu, yang dijadikan pertimbangan adalah kondisi atau tradisi yang sudah baku dan manakala baik itu cara-caranya dan tujuan-tujuannya adalah sekedar kebiasaan.
 Tindakan afektif
Tindakan ini didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan sadar. Tindakan afektif bersifat spontan, tidak rasional dan merupakan refleksi emosional dari individu. Tindakan ini dilakukan seseorang berdasarkan perasaan yang dimilikinya, biasanya timbul secara spontan karena mengalami suatu kejadian yang sebagian besar dikuasai oleh perasaan atau emosi  tanpa perhitungan dan pertimbangan yang matang.
Weber menyatakan ada dua macam teori tindakan mulai dengan memperkenalkan “makna” sebagai konsep teori tindakan dasar dan menggunakannya untuk membedakan tindakan dari perilaku yang dapat diamati. “ Perilaku manusia apakah internal atau eksternal, aktivitas, tidak berbuat atau pasif mengikuti sesuatu yang terjadi akan disebut “tindakan” jika dan selama actor melekat makna subjektif kepada perilaku tersebut. Pada titik peralihan pertama ini pendapat Weber tidak sama dengan teori tindakan komunikatif. Yang dipandang fundamental bukanlah relasi antar pribadi antara paling tidak dua subjek yang berbicara dan bertindak relasi yang merujuk kembali kapada tercapainnya pemahaman didalam bahasa-melainkan aktivitas bertujuan dari subjek yang bertindak sendiri-sendiri. Tercapainnya pemahaman dipandang sebagai fenomena derivative yang harus dijelaskan dengan bantuan konsep maksud yang diandaikan bersifat primitiv. Dengan demikian Weber beranjak dari model tindakan teleologis dan menspesifikan “makna subjektif” sebagai suatu untuk bertindak (prakomunukatif). Dan kemudian beranjak dari pengspesifikasikan teori tindakan ada syarat yang harus dipenuhi: (a) suatu orientasi kearah perilaku subjek lain yang bertindak, dan (b) suatu relasi refleksif orientasi tindakan resiprokal dari beberapa subjek yang bertindak.

DAFTAR PUSTAKA
Ritzer, G. 2003. Modern Sociology Theory. Jakarta: Kencana.
Sudarsono. 2004. Kenakalan Remaja. Jakarta:  Rineka Cipta.

           













Tidak ada komentar:

Posting Komentar