Kenakalan remaja dan kaitanya dengan
kriminalitas : Remaja 16 Tahun yang Mengubur Teman Sekolahnya dalam
Karung
Kenakalan
remaja saat ini merupakan salah satu fenomena social yang konkrit dalam
masyarakat sekarang. Perilaku –perilaku menyimpang remaja yang merupakan
peralihan dari masa anak anak menuju remaja yang nantinya menuju proses dewasa.
Perilaku-perilaku menyimpang remaja pada saat ini telah mengarah banyak ke
hal-hal yang mengarah ke tindakan kriminalitas. Faktor lingkungan yang kurang
baik serta pola didik dari keluarga yang kurang baik sering kali memicu
tindakan-tindakan yang memicu timbulnya criminal. Faktor kemiskinan dan
tuntutan gaya hidup remaja sekarang juga ikut andil dalam factor pemicu
tindakan kriminal di kalangan remaja saat ini. kemiskinan merupakan masalah
sosial baik di tingkat nasional maupun regional yang
perlu mendapatkan penanganan yang serius dari semua elemen masyarakat. Ada
pandangan di kalangan ilmuwan sosial bahwa kemiskinan sebenarnya tidak lahir
dengan sendirinya dan juga bukan muncul tanpa sebab, tetapi kondisi ini
banyak dipengaruhi oleh struktur sosial, ekonomi dan politik. Jon
Sobrino (1993) menelaah keberadaan orang miskin sebagai rakyat
yang tertindas dalam dua perspektif.
Yang paling disorot adalah keluarga sebagai institusi pertama seorang anak
mulai belajar bersosialisasi karena anak mendapatkan apa yang pertama mereka
kenal seperi aplikasi dari penanaman nilai-nilai dan norma–norma yang bersifat
sederhana. Alvin S Johnson (2006) menjelaskan fungsi keluarga sebagai lading
terbaik dalam penyemaian nilai-nilai agama yang kompleks,terikat dan konsisten.
Orang tua memiliki peranan yang sangat penting dan strategis dalam
mentradisikan ritual keagamaan sehingga nilai-nilai keagamaan dapat
diaplikasikan ,ditanamakn dengan pendekatan personal kepada anak.
Dalam kajian yag akan diangkat
dalam makalah ini adalah analisis tentang kenakalan remaja di kalangan pelajar
SMA. Hal ini menjadi sorotan banyak pihak ketika nilai-nilai dan norma telah
luntur jelas dikalangan remaja sekarang ini. Dalam hal ini terjadi karena
adanya diintegrasi antat pihak satu dengan pihak yang lain sehingga terjadi
ketidaksepahaman tujuan. Kondisi psikis remaja yang liar dan kurang labil
merupakan salah factor pemicu terjadinya kekerasan pada remaja.
Pada
kasus ini pada remaja yang kriminalitas yaitu kasus pembunuhan. Seorang siswi
di Bandar Lampung, Dwi Komalasari (16) dilaporkan hilang oleh keluarganya.
Selang beberapa hari, mayat pelajar kelas II SMA ini ditemukan dengan kondisi
mengenaskan. Mayat pelajar itu ditemukan di dalam karung dan ditanam di sebuah
gudang dengan kedalaman 40 cm. Setelah diselidiki, ternyata pembunuhnya adalah
teman satu sekolah Dwi yang berinisial DE (16). DE lantas ditangkap penyidik
Polresta Bandar Lampung, Rabu (18/7/2012). Selain membunuh Dwi, DE merampas
barang-barang milik korban seperti HP dan sepeda motor Yamaha Mio. DE lalu
ditetapkan menjadi tersangka.
ANALISIS TEORI
1.
Teori
Stratifikasi Fungsional dan Kritiknya
Teori stratifikasi fungsional
yang diungkapkan oleh Kingsley Davis dan Wilbert Moore (1945) menjelaskan
bahwa stratifikasi sosial juga merupakan fenomena universal yang sangat
penting. Tidak ada masyarakat yang tidak berstratifikasi dan berkelas sosial.
Stratifikasi adalah suatu keharusan fungsional. Mereka
memandang sistem stratifikasi sebagai sebuah struktur, dan tidak mengacu pada
stratifikasi individu pada system stratifikasi, melainkan pada sistem posisi
(kedudukan).
Pusat perhatiannya ialah bagaimana
agar posisi tertentu memiliki tingkat prestise berbeda dan bagaimana agar
individu mau mengisi posisi tersebut. Masalah fungsionalnya ialah bagaimana
cara masyarakat memotivasi dan menempatkan setiap individu pada posisi yang
tepat. Secara stratifikasi masalahnya ialah bagaimana meyakinkan individu yang
tepat pada posisi tertentu dan membuat individu tersebut memiliki kualifikasi
untuk memegang posisi tersebut.
Penempatan sosial dalam masyarakat
menjadi masalah karena tiga alasan mendasar,
1.
Posisi
tertentu lebih menyenangkan daripada posisi yang lain
2.
Posisi
tertentu lebih penting untuk menjaga keberlangsungan masyarakat daripada posisi
yang lain
3.
Setiap
posisi memiliki kualifikasi dan bakat yang berbeda.
Posisi yang tinggi tingkatannya
dalam stratifikasi cenderung untuk tidak diminati tetapi penting untuk menjaga
keberlangsungan masyarakat, juga memerlukan bakat dan kemampan terbaik. Pada
keadaan ini masyarakat dianjurkan agar memberi reward kepada individu yang
menempati posisi tersebut agar dia menjalankan fungsinya secara optimal. Jika
ini tidak dilakukan maka masyarakat akan kekurangan individu untuk mengisi
posisi tesebut yang berakibat pada tercerai-berainya masyarakat.
Status sosial yang memaksa untuk
melakukan hal yang tidak disangka-sangka karena hanya faktor ekonomi. Faktor
strata dan kelas sosial juga menjadi salah satu pemicu terjadinya konflik
sosial dalam remaja. Faktor gengsi yang membuat remaja sekarang lebih mudah
terpancing sehingga sering muncul konflik sosial diantara kelompok
remaja-remaja seperti tawuran,perkelahian antar remaja SMA. Dengan adanya
perbedaan status akan mengakibatkannya terjadinya kekerasan ataupun pembunuhan.
Faktor strata dan kelas sosial juga menjadi salah satu pemicu terjadinya
konflik sosial karena kecemburuan sosial.
2.
Teori
Konflik Sosial
Teori konflik adalah teori yang
sangat menentang, dan yang paling utama, menjadi alternatif menggantinya
terhadap posisi dominan itu. Perubahan dramatis baru terjadi di tahuntahun
terakhir. Teori konflik ini sangatlah menjadi relevan di saat ia mengkritik
bahwasanya suatu masyarakat jika selalu terjalani terhadap fungsi yang ada maka
kemudian perubahan, perkembangan cendrung lebih lambat. Karena salah satu tokoh
Ralf Dahrendorf bahwasanya masyarakat itu tidak selalu seimbang akan tetapi
akan mengalami perubahan pada masyarakat itu sendiri. Teori konflik ini berasal
dari berbagai sumber yang lain seperti teori Marxian dan pemikiran konflik social dari Simmel. Pada
tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik menyediakan alternatif terhadap
fungsionalisme structural. Namun kemudian konflik ini tidak bisa menggantikan
.masalah mendasar dalam teori konflik adalah teori ini tidak akan pernah
berhasil memisahkan dirinya dari akar structural funsionalisme. Teori ini bisa
dibilang merupakan sejenis funsionalisme structural yang angkuh ketimbang teori
yang benar-benar berpandangan kritis terhadap masyarakatnya.
Dahrendorf ( 1959, 1968) adalah
seorang tokoh utama yang berpendirian bahwa masyarakat itu memiliki dua wajah
yaitu konflik dan consensus.di mana hal keduanya ini terkenal saling berlawanan
saling mengkritisi tentunya ada kelemahan, kelebihan masing-masing. Keduanya
ini dituntut untuk saling menguji diri. Adapun teori konflik harus menguji yang
naman konflik kepentingan dan penggunan kekerasan yang mengikat masyarakt
bersama dihadapan tekanan itu. Teori consensus harus menguji nilai integrasi
yang kemudian terbangun dalam masyarakat. Meski ada hubungan timbal balik
antara konsensus dan konflik , Dahrendorf tetap optimis mengenai pengembangan
teori sosiologi tunggal yang mencakup kedua prose situ. Dia menyatakan,
Mustahil menyatukan teori untuk menerangkan masalah yang telah membingungkan
pemikir sejak awal perkembangan filsafat barat ( 1959:164.) untuk itu maka
kemudian guna menghindari dari teori tunggal itu Dahrendorf membangun teori
konflik masyarakat.
Menurut toritisi konflik bahwasanya
masyrakat disatukan oleh” ketidakbebasan yang dipaksakan”. Dengan demikian,
posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas
terhadap posisi yang lain. Otoritas . Dahrendorf memusatkan perhatiaanya pada
struktur social yang lebih luas. Inti tesisnya adalah gagasan bahwa berbagai
posisi dalam suatu masyarakat mempunyai kualitas otoritas yang berbeda. Menurut
Dahrendorf, tugas pertama analisi konflik adalah mengidentifikasi berbagai
peran otoritas didalam masyarakat.karena memusatkan perhatian kepada struktur
bersekala luas seperti peran otoritas. Dahrendorf ditentang oleh para peneliti
yang memusarkan perhatiannya tingkat individual. Dahrendorf, menyatakan bahwa
masyarakat tersusun dari sejumlah unit yang ia sebut asosiasi yang
dikoordinasikan secara inperatif. Masyarakat terlihat sebagai asosiasi individu
yang dikontrol oleh hierarki posisi otoritas. Otoritas dalam setiap asosiasi
bersifat dikotomi, karena itu hanya ada dua, kelompok konflik yang dapat
terbentuk didalam setiap asosiasi. Kelompok yang memegang posisi otoritas dan
kelompok subordinat yang memiliki kepentingan tertentu Ada sebuah konsep kunci
lain dalam teori konflik Dahrendorf , yakni kepentingan. Kelompok yang berada
diatas dan yang berada sibawah. Didifinisikan berdasarkan kepentingan bersama.
Untuk tujuan analisis sosiologis
tentang konflik kelompok, perlu menganut orientasi structural dari tindakan
pemegang posisi tertentu. Dengan analogi terhadap orientasi kesadaran ( Subjektif) tampaknya dapat dibenarkan
untuk mendiskripsikan ini sebagai kepentingan, asumsi kepentingan objektif yang
diasosiasikan dengan posisi social tidak mengandung rimifikasi atau implikasi
psikologis ini adalah termasuk dlam level analisi Sosiologis ( Dahrendorf,
1959:175) Dalam setiap asosiasi , orang yang berbeda pada posisi dominan
berupaya mempertahankan Status Qou, sedangkan orang yang berbeda berada dalam
posisi subordianat berupaya bagaimana bisa menciptakan perubahan.adapun konflik
kepentingan akan selalu ada sepanjang waktu.
Teori konflik Ralf
Dahrendorf muncul sebagai reaksi atas teori fungsionalisme struktural yang
kurang memperhatikan fenomena konflik dalam masyarakat. Teori Konflik adalah
suatu perspektif yang memandang masyarakat sebagai sistem sosial yang terdiri
atas kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda dimana ada suatu usaha untuk
menaklukkan komponen yang lain guna memenuhi kepentingan lainnya atau memproleh
kepentingan sebesar-besarnya.
Konflik
dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu
interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri
fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.
Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik
merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat
pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok
masyarakat lainnya.
Teori- teori ini juga berpendapat
bahwa manusia juga dibatasi oleh kemudahan yang dia miliki posisinya dalam
struktur ketidaksetaraan dalam masyarakat mereka. Ini menekankan penagruh
perilaku dalam distribusi kemudahan yang tidak merata yang dalam masyarakat
biasanya dikaitkan dengan teori struktural-konflik. Ada beragam struktur
ketidaksetaraaan dimasyarakat. Ralf Dahrendorf dalam sub bab otoritas yang
melekat pada posisi adalah unsure kunci dalam analisis Dahrendorf. Otoritas
tersirat menyatukan superordinasi dan subordinasi artinya mereka berkuasa
karena harapan orang-orang yang berada disekitar mereka,bukan karena ciri-ciri
psikologis dari mereka.
3.
Teori
Thomas Hobbes
Rule (1988)
menganalisis akar kekerasan melalaui pemikiran Thomas Hobbes. Hobbes
berpendapat melalui pemikiranya ; hom homini lupus atau Man to Man is
Arrant Wolf (Manusia adalah serigala bagi serigala lain). Hanya saja manusia
menurut Hobbes masih memiliki kesadaran dan kemampuan untuk mengkalkulasi
kekerasan. Artinya,manusia menggunakan kekerasan untuk menghadaoi kompetensi self
fish dan pertandingan zero sum. Ada kepentingan pribadi yang harus
dimenangkan melalui kekuatan atas kepentingan orang lain. Kepentingan yang
menyebabkan adanya kekerasan sampai-sampai pembunuhan sekaligus. Dengan rasa
sadar orang-orang inilah yang menyebabkan kekerasan dipilih sebagai jalan satu
satunya alat untuk memenangkan suatu kepentingan atau mewujudkan kepentingan
mereka sendiri. Kemampuan serta rasa
keberanian yang memuncak serta tingkah laku yang tak terkontrol menyebabkan
konflik atau crush dalam kecemburuan sosial. Dalam kaitanya remaja,ambisi dalam
memenangkan suatu keopentingan pribadi serta keegoisan dan arogansi itu lebih tinggi
dibandingkan orang yang lebih dewasa. Kemampuan serta rasa keberanian yang
memuncak serta tingkah laku yang tak terkontrol menyebabkan konflik atau crush
dalam remaja sangat rentan terjadi.
4.
Teori
Peranan sosial
Peranan sosial adalah suatu
perbuatan seseorang dengan cara tertentu dalam usaha menjalankan hak dan
kewajibannya sesuai dengan status yang dimilikinya. Seseorang dapat dikatakan
berperanan jika ia telah melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan status
yang dimilikinya dimasyarakat. Ciri pokok yang berhubungan dengan istilah
peranan sosial adalah terletak pada adanya hubungan-hubungan sosial seseorang
dalam masyarakat yang menyangkut dinamika dari cara-cara bertindak dengan
berbagai norma yang berlaku di dalam masyarakat. Peranan sosial seseorang lebih
banyak menunjukkan suatu proses dari fungsi dan kemampuan mengadaptasi diri
dalam lingkungan sosialnya. Dalam pembahasan tentang aneka macam peranan yang
melekat pada individu-individu dalam masyarakat, Soerjono mengutip pendapat
Marion J. Levy Jr., bahwa ada beberapa pertimbangan sehubungan dengan
fungsinya, yaitu sebagai berikut :
Bahwa peranan-peranan tertentu harus
dilaksanakan apabila struktur masyarakat hendak dipertahankan kelangsungannya.
Peranan tersebut seyogyannya diletakan pada anggota masyarakat yang dianggap
mampu untuk melaksanakannya. Menurut Gandarsih dalam ungkapan menyikapi
wanita dalam kemajuan jaman. Seperti halnya Comte sangat dipengaruhi oleh
pemikiran ilmu alam. Pemikiran Comte yang dikenal dengan aliran positivisme,
memandang bahwa masyarakat harus menjalani berbagai tahap evolusi yang pada
masing-masing tahap tersebut dihubungkan dengan pola pemikiran tertentu.
Selanjutnya Comte menjelaskan bahwa setiap kemunculan tahap baru akan diawali
dengan pertentangan antara pemikiran tradisional dan pemikiran yang bersifat
progresif. Sebagaiman Comte menyatakan bahwa dengan adanya pembagian kerja,
masyarakat akan menjadi semakin kompleks, terdeferiansi dan
terspesialisas.
5.
Teori
Tindakan
Dalam sosiologinya
Weber, secara eksplisit menyatakan kalau tindakan sosial itu sebagai pokok
bahasan sentral. Sumbangan Weber terhadap pemikiran tentang tindakan sosial membantu memperbaiki pemahaman tentang watak dan
kemampuan-kemampuan aktor sosial secara individu melalui sebuah tipologi
tentang berbagai cara dimana individu yang bersangkutan bisa bertindak di lingkungan eksternalnya. Weber menekankan tindakan pada makna
dan pemahaman untuk menunjukan betapa pentingnya hermeneutik dan fenomenologi di dalam teori tindakan sosial, dimana sejumlah aktor saling mengorientasikan makna dari
tindakan-tindakan sosial mereka, sehingga sampai pada batas tertentu, aktor
yang satu memperhatikan dan mempertimbangkan perilaku aktor lain, aktor
tersebut bisa jadi sama-sama sepakat dalam interpretasi-interpretasi mereka
atas perilaku aktor lain, atau bisa juga tidak. Pandangan
Weber melakukan pemahaman melalui presisi penekanan pada kondisi-kondisi
sosial, dan pada bentuk hal lain menempatkan kesadaran, kondisi pikiran dan
perasaan, serta orientasi-orientasi aktor pada fokus terpenting. hal
ini semua, pada gilirannya, menghambat dan memengaruhi persepsi aktor tentang
bagaimana aktor tersebut bertindak di dalam dunia untuk mempertahankan atau
mengubah dunia. Tingkat integrasi ini pada gilirannya akan terus dipengaruhi
oleh proses-proses sosiasi yang dinamis yang melibatkan para anggotanya, baik
itu melalui ikatan-ikatan dan solidaritas yang dibangun melalu bentuk-bentuk
rasional berupa perjuangan bersama melawan musuk atau pesaing tertentu. Loyalitas yang diprovokasi oleh rahasia-rahasia bersama,
hubungan-hubungan perbedaan dan superordinasi yang direproduksi dalam hierarki
instisusional, maupun persahabatan akrab dan intimasi yang lahir dari berbagai
pangan dan hidup ataupun hubungan-hubungan terhormat lainnya. Secara
sosial, di dalam masyarakat-masyarakat modern yang beragam para aktor akan
menghadapi situasi-situasi yang penuh dengan sederatan aktor yang memiliki
afiliasi yang beragam ini,yang masing-masing juga terlibat dalam beragam paduan
hubungan yang aktif, saling bersimpangan dan saling tumpang tindih
Tindakan sosial terjadi ketika
individu melekatkan makna subjektif pada tindakan mereka. Hubungan sosial
menurut Weber yaitu suatu tindakan dimana beberapa aktor yang
berbeda-beda, sejauh tindakan itu mengandung makna dihubungkan serta diarahkan
kepada tindakan orang lain. Masing-masing individu berinteraksi dan saling
menanggapi . Weber juga membicarakan bentuk-bentuk empiris tindakan sosial dan
antar-hubungan sosial tersebut. Tindakan adalah segala aspek yang memiliki
makna dibalik perlakuan atau kegiatan meskipun pelaku tidak berbuat atau
melakukan sesuatu yang bermakna kepada orang lain cakupan secara
luas. Weber membedakan dua jenis dasar
dari pemahaman yang bersifat tafsiran dari arti, dari tiap jenis pemahaman ini
bisa dibagi sesuai dengan masing-masing pertaliannya, dengan menggunakan
tindakan rasional ataupun emosional. Jenis pertama adalah
pemahaman langsung yaitu memahami suatu tindakan dengan pengamatan
langsung. Kedua, pemahaman bersifat penjelasan. Dalam tindakan ini
tindakan khusus aktor ditempatkan pada suatu urutan motivasi
yang bisa dimengerti, dan pemahamannya bisa dianggap sebagai suatu penjelasan
dari kenyataan berlangsungnya perilaku.
Max Weber dalam (J Dwi
Narwoko dan Bagong Suyanto, 2006:18)mengklasifikasikan empat jenis tindakan
sosial yang mempengaruhi sistem dan struktur sosial masyarakat yaitu;
Rasionalitas instrumental
Yaitu tindakan sosial yang dilakukan
seseorang didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan
dengan tujuan tindakan itu dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Tindakan yang dilaksanakan setelah melalui
tindakan matang mengenai tujuan dan cara yang akan ditempuh untuk meraih tujuan
itu. Jadi, Rasionalitas instrumental adalah tindakan yang diarahkan
secara rational untuk mencapai suatu tujuan tertentu dan diterapkan dalam suatu
situasi dengan suatu pluralitas cara-cara dan tujuan-tujuan dimana si pelaku
bebas memilih cara-caranya secara murni untuk keperluan efisiensi.
Rasionalitas yang berorientasi nilai
Alat-alat yang ada hanya merupakan
pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara tujuan-tujuannya sudah ada
didalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut. Tindakan
sosial jenis ini hampir serupa dengan kategori atau jenis tindakan sosial
rasional instrumental, hanya saja dalam werk rational tindakan-tindakan sosial
ditentukan oleh pertimbangan atas dasar keyakinan individu pada nilai-nilai
estetis, etis dan keagamaan, manakala cara-cara yang dipilih untuk keperluan
efisiensi mereka karena tujuannya pasti yaitu keunggulan.
Tindakan tradisional
Seseorang memperlihatkan perilaku
tertentu karena kebiasaan yang diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang
sadar atau perencanaan. Tindakan sosial semacam ini bersifat
rasional, namun sipelaku tidak lagi memperhitungkan proses dan tujuannya
terlebih dahulu, yang dijadikan pertimbangan adalah kondisi atau tradisi yang
sudah baku dan manakala baik itu cara-caranya dan tujuan-tujuannya adalah
sekedar kebiasaan.
Tindakan afektif
Tindakan ini didominasi perasaan
atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan sadar. Tindakan afektif
bersifat spontan, tidak rasional dan merupakan refleksi emosional dari
individu. Tindakan ini dilakukan seseorang berdasarkan perasaan yang
dimilikinya, biasanya timbul secara spontan karena mengalami suatu kejadian
yang sebagian besar dikuasai oleh perasaan atau emosi tanpa
perhitungan dan pertimbangan yang matang.
Weber menyatakan ada dua macam teori
tindakan mulai dengan memperkenalkan “makna” sebagai konsep
teori tindakan dasar dan menggunakannya untuk membedakan tindakan dari perilaku
yang dapat diamati. “ Perilaku manusia apakah internal atau eksternal,
aktivitas, tidak berbuat atau pasif mengikuti sesuatu yang terjadi akan
disebut “tindakan” jika dan selama actor melekat makna
subjektif kepada perilaku tersebut. Pada titik peralihan pertama ini pendapat
Weber tidak sama dengan teori tindakan komunikatif. Yang dipandang fundamental
bukanlah relasi antar pribadi antara paling tidak dua subjek yang berbicara dan
bertindak relasi yang merujuk kembali kapada tercapainnya pemahaman didalam
bahasa-melainkan aktivitas bertujuan dari subjek yang bertindak
sendiri-sendiri. Tercapainnya pemahaman dipandang sebagai fenomena derivative
yang harus dijelaskan dengan bantuan konsep maksud yang diandaikan bersifat
primitiv. Dengan demikian Weber beranjak dari model tindakan teleologis dan
menspesifikan “makna subjektif” sebagai suatu untuk bertindak
(prakomunukatif). Dan kemudian beranjak dari pengspesifikasikan teori tindakan
ada syarat yang harus dipenuhi: (a) suatu orientasi kearah perilaku subjek lain
yang bertindak, dan (b) suatu relasi refleksif orientasi tindakan resiprokal
dari beberapa subjek yang bertindak.
DAFTAR PUSTAKA
Ritzer, G. 2003. Modern
Sociology Theory. Jakarta: Kencana.
Sudarsono. 2004. Kenakalan
Remaja. Jakarta: Rineka Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar