Senin, 19 Oktober 2015

Esay Filsafat Pendidikan



FILSAFAT PENDIDIKAN PRAGMATISME

Taukah anda tentang filsafat pendidikan? Nah disini Banyak para ahli yang mendevinisikan tentang pengertian filsafat pendidikan. Menurut al-Syaibany (1979: 36), filsafat pendidikan adalah aktifitas pikiran yang teratur, yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Artinya, filsafat pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai dan maklumat-maklumat yang diupayakan untuk pengalaman kemanusiaan merupakan faktor yang integral. Filsafat pendidikan juga bisa di devinisikan sebagai kaidah filosofis dalam bidang pendidikan yang menggambarkan aspek-aspek pelaksanaan filsafat umum dan menitik beratkan pada pelaksanaan prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasar dari filsafat umum dalam upaya memecahkan persoalan-persoalan pendidikan secara praktis.
 Menurut John Dewey, filsafat pendidikan merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang fundamental baik yang menyangkut daya pikir(intelektual) maupun daya perasaan(emosional), menuju tabiat manusia. Keseluruhan masalah yang dipikirkan oleh filosof tersebut merupakan suatu upaya untuk menemukan hakikat masalah, sedangkan suatu hakikat itu dapat dibakukan melalui proses kompromi (Arifin,1993: 2).
Menurut Imam Barnadi (1993: 3), filsafat pendidikan merupakan ilmu yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam bidang pendidikan. Menurut Brubachen (Arifin, 1993: 3), filsafat pendidikan adalah seperti menaruh sebuah kereta di depan seekor kuda, dan filsafat di pandang sebagai bunga, bukan sebagai akar tunggal pendidikan.
            Jadi, dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa pengertian dari filsafat pendidikan yaitu sebagai ilmu pengetahuan yang normatif dalam bidang pendidikan dengan merumuskan kaidah-kaidah, norma-norma yang ada atau ukuran tingkah laku perbuatan yang sebenarnya dilaksanakan oleh manusia dalam hidup dan kehidupaannya.


Di sini kita akan membahas keterkaitan antara filsafat pendidikan dengan pragmatisme. Pengertian pragmatisme adalah aliran filsafat modern yang lahir di Amerika akhir abad 19 hingga awal abad 20. Sebuah versi menyebutkan jauh istilah “pragmatis” pernah pula digunakan Kant “pragmatich” guna menunjuk pemikiran-pemikiran yang sedang berlaku dan ditetapkan dengan maksud-maksud serta rencana-rencana. Menurut Kant, prinsip tentang akal praktis telah menjadi merintis jalan bagi pragmatisme. Filsafat ini cenderung lebih mengabaikan hal-hal yang bersifat metafisik tradisional dan lebih  banyak terarah pada hal-hal yang pragmatis kehidupan.
Dalam sejarahnya, Pragmatisme lahir di tengah-tengah situasi sosial Amerika yang dilanda berbagai problem terkiat dengan kuat dan masifnya urbanisasi dan industrialisasi. Berakhirnya Perang Dunia I dan korban sekitar 8,4 juta jiwa secara tidak langsung telah melahirkan dampak psikologis yang begitu meluas dan memicu terjadi berbagai perubahan-perubahan bangsa, khususnya para filsuf di dalam menyadari hidup dan kehidupan yang ada. Eropa abad pertengahan kehilangan utopia hidupnya mulai dari moralitas serta spiritual. Atas nama nasionalisme dan demi mengejar keuntungan-keuntungan serta kebanggaan semu, dunia yang selama ini  beradab telah membuktikan diri hadir menjadi dunia yang sepenuhnya irasional, horor, dan buta terhadap gagasan-gagasan nilai yang dibangunnya.
Dalam kondisi seperti itulah,  pragmatisme kemudian lahir di Amerika. Aliran ini melahirkan beberapa nama yang cukup berpengaruh mulai Charles S. Pierce (1839-1914), Wiliam James (1842-1910), John Dewe dan seseorang pemikir yang juga cukup menonjol bersama George Herbert Mead (1863-1931).
Bagaimana menurut pandangan metafisika tentang Pragmatisme? Perlu diketahui bahwa filsafat pragmatisme secara umum di pandang berupaya menengahi pertikaian idealisme dan empirisme serta berupaya melakukan sintesis antara keduanya. Pragmatisme mendasarkan dirinya pada metode filsafat yang memakai sebab-sebab praktis dari pikiran serta kepercyaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai kebenaran.

Pandangan William James bahwa Pragmatisme adalah sikap memandang jauh terhadap benda-benda pertama, prinsip-prinsip, serta kategori-kategori yang dianggap sangat penting untuk melihat ke depan pada benda-benda terakhir berdasarkan akibat dan fakta. Dalam penjabaran William di atas, kita bisa megetahui betapa filsafat pragmatisme selalu menjadi pemikiran filsafat yang berdasarkan pada metode dan pendirian ketimbang pada doktrin filsafat yang bersifat sistematis.
            Para pragmatis selalu menolak jika filsafat mereka dikatakan berlandaskan suatu pemikiran metafisik sebagaimana metafisika tradisional yang selalu memandang bahwa dalam hidup  ini terdapat sesuatu yang bersifat absolute dan berada di luat jangkauan pengalaman-pengalaman empiris. Maka dari itu ,bagi mereka seandainya pun realitas adikodrati memang ada, mereka berasumsi bahwa manusia tidak akan mampu mengetahui hal itu.
Pemikiran ini menunjuk bahwa epistemologi pragmatisme sepenuhnya berbasis pendekatan empiris  apa yang bisa dirasakan itulah yang benar. Artinya, akal, jiwa, dan materi adalah sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebab, hanya dengan mengalamiah pengetahuan itu dapat diserap. Pengalaman menjadi parameter ketika sesuatu dapat diterima kebenaranya. Oleh kaarena itu, para pragmatis tidak nyaris pernah mendasarkan satu hal kebenaran.
Corak yang paling kuat dari pragmatisme adalah kuatnya pemikiran konsep kegunaan. Makna kegunaan dalam pragmatisme lebih ditetapkan pada kebenaran sains, bukan yang bersifat metafisik. Maka, dalam pragmatisme, pengetahuan tidak selalu mesti diidentikkan dengan  kepercayaan,tetapi kerap menjadi dua hal yang sama sekali terpisah. Kebenaran yang mungkin dianggap perlu dipercayai bagi para pragmatis selalu menjadi semua hal yang bersifat personal atau pribadi dan itu  tidak perlu dikabarkan pada publik.
Pandangan-pandangan itu semuanya terangkai oleh konsep kegunaan dan fungsi pragmatis. Oleh karena itu, para pragmatis kerap mengungkapkan apa yang kita mesti ketahui keraplah bukan sesuatu yang mesti kita percayai. Dalam sisi yang lain, sebab konsep kegunaan, apa yang kita percayai tidak selalu menjadi sesuatu hal yang mesti kita ketahui. Sebab, konsep kegunaan dan fungsi kebenaran dalam pragmatisme selalu hadir  menjadi relative dan kasuistik. Sebuah kebenaran yang dipandang benar-benar valid dan berguna, di waktu yang lain bisa menjadi sesuatu hal yang sama sekali mesti dilupakan.
Sementara itu, pandangan aksiologi pragmatisme tentu saja memiliki sisi keterkaitan erat dengan corak epistemologi mereka yang cenderung berbasis empiris serta menegaskan bahwa manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas kebenaran dan pengetahuan serta nilai-nilai yang diakibatkannya. Keberadaan konsep kegunaan dan fungsi bagi pragmatisme tidak membuat  bahwa nilai-nilai etika menjadi relative dan batal. Sebaliknya, dipandang bahwa tidak ada konsep etika yang mengikat manusia secara universal.
Bagaimana peran pendidikan bagi Pragmatisme? Dalam hal ini penekanan yang paling utama pragmatisme dalam pendidikan selalu dilandaskan bahwa subjek didik bukanlah objek, melainkan subjek yang memiliki pengalaman. Setiap subjek didik tidak lain adalah individu yang mengalami sehingga mereka berkembang, serta memiliki inisiatif dalam mengatasi problem-problem hidup yang mereka miliki.
Dalam pelaksanaannya, pendidikan pragmatisme mengarahkan agar subjek didik saat belajar di sekolah tak berbeda  ketika ia berada di luar sekolah. Oleh karena itu, kehidupan di sekolah selalu didasari sebagai bagian dari  pengalaman hidup, bukan bagian dari persiapan untuk menjalani hidup. Selain itu, pendidikan pragmatisme kerap dianggap sebagai pendidikan yang mencanangkan nilai-nilai demokrasi dalam ruang pembelajaran sekolah. Karena pendidikan bukan ruang yang terpisah dari sosial, setiap orang dalam suatu masyarakat juga diberi kesempatan untuk terlibat dalam setiap pengambilan keputusan pendidikan yang ada. Dalam pendidikan pragmatisme, guru menjadi pendamping subjek didik yang dipandang jauh lebih  memiliki pengalaman dalam  menghadapi berbagai problem.
Oleh karena itu, pengajaran kerap sangat berbeda dengan pengajaran tradisional yang selalu  mesti di ruang, memiliki kesan begitu formal dan kaku. Pengajaran-pengajaran itu justru sering dilakukan di luar, di alam terbuka, dan berbagai tempat yang memang disukai siswa didik. Metode  pengajaran pragmatisme sekali lagi selalu menekankan pengalaman sebagai sesuatu yang utama. Upaya pengajaran dilakukan selalu menjadi sesuatu yang dekat dengan hidup.
Epistemologi pragmatisme tentang pendidikan, kaitannya dalam hal ini kaum pragmatisme meyakini bahwa pikiran manusia bersifat aktif dan berhubungan langsung dengan upaya penyelidikan dan penemuan. Pikiran manusia tidak mengfrontasikan dunia yang lainnya terpisah dari aktivitas penyelidikan dan penemuan itu. Pengetahuan dunia dibentuk melalui pikiran subjek yang mengetahuinya. Kebenaran tidak tergantung sepenuhnya melulu pada korespondensi ide manusia tergantung pada bagian dalam ide yang menjelaskan. Pragmatisme juga mengtakan bahwa method of intelligence merupakan cara yang ideal untuk mendapatkan pengetahuan. Kita menangkap sesuatu yang terbaik menurut kaum pragmatis mestilah melalui lokalisasi problem dan memecahkan masalahnya.
Menurut kaum pragmatisme, guru harus mengonstruksi situasi belajar  dengan menempatkan problem tertentu yang pemecahannya akan membawa siswa kepada pemahaman yang lebih baik akan lingkungan sosial dan fisik. Konsekuensinya, menggantikan struktur tradisional tentang subjek matters baik guru maupun kelas harus meramalkan apakah pengetahuan itu memberikan manfaat dalam pemecahan problem tertentu yang sedang mereka diskusikan.
Dalam pengembangannya pendidikan pragmatisme dapat melalui pendekatan-pendekatan pembelajaran yaitu pembelajaran kontekstual dan pembelajaran kontrstruktivisme. Proses pembelajaran kontekstual beraksentuasi pada proses informasi, individualisme dan interaksi sosial. Proses informasi mengatakan bahwa peserta didik mengolah informasi, menyusun strategi berkaitan dengan informasi tersebut. Individualisasi pada proses individu membentuk dan menata realisasi keunikan. Interaksi sosial menekankan pada hubungan individu dengan orang lain atau masyarakat. Sedangkan pembelajaran konstruktivisme berasumsi bahwa bagaimana kognisi yang ditempatkan. Konsep ini mengacu pada ide bahwa pemikiran selalu ditempatkan atau disituasikan dalam konteks sosial dan fisik, bukan dalam pikiran seseorang. Pengetahuan diletakkan dan dihidupkan dengan ,konteks di mana pengetahuan tersebut dikembangkan.
Jadi kesimpulannya, seorang anak selalu belajar secara alamiah karena memang mereka adalah makhluk yang selalu ingin tau tentang sesuatu. Mereka senantiasa akan mempelajari apapun yang mereka rasakan atau yang mereka pikirkan.
Oleh karena itu peran guru sangatlah penting, guru yang baik harus menghidupkan spirit inquiri agar tampil dalam realitas pembelajaran. Guru, disini sama sekali berbeda dengan para guru dalam pendidikan tradisional yang otoritatif dan mesti menekankan kepatuhan pada siswanya. Dan guru menjadi pendamping, pengarah atau pemandu aktivitas subjek didik yang dipandang jauh lebih memiliki pengalaman menghadapi problem. Tugas penting guru adalah menolong para peserta didiknya agar mempelajari memapa yang mereka rasakan dan merangsang ingin tahunya selalu tumbuh seperti sains, sastra, sejarah, dan lain-lain. Pendidikan pragmatisme lebih menekankan pada  pendidik atau guru untuk peserta didiknya memberikan dasar-dasar pengalaman, dan memberikan kesempatan untuk berpendapat. Dan mencetak orang-orang yang ada di dalam masyarakat. Tidak hanya kompetensi akademi saja tetapi juga pendidikan di dalam masyarakat.















DAFTAR PUSTAKA

HW. Ghandhi, Wangsa Teguh. 2011. Filsafat Pendidikan: Mazhab-Mazhab Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Muhmidayeli. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung: PT Refika Aditama.
Jalaluddin dan Abdulloh Idi. 2013. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sadullah, Uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Saifullah, Ali. 1997. Antara Filsafat dan Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar